Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Kecil Bernama Kompetisi

4 September 2017   08:25 Diperbarui: 4 September 2017   14:44 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Puja Mandela

Saya wajib bersyukur karena tidak lahir dan besar dari ajang perlombaan, kompetisi, atau apalah itu namanya. Sebab saya--setidaknya sampai hari ini--memang ditakdirkan menjadi manusia yang selalu kalah dalam sebuah kompetisi. Tentu saja kompetisi dimaksud ialah sebuah kompetisi yang capaian terbaiknya adalah sebuah kemenangan.

Di sekolah nilai saya nol besar. Di lingkungan masyarakat saya juga tak pernah dianggap sebagai tokoh, bahkan warga tidak pernah berpikir untuk mencalonkan saya menjadi ketua RT, ketua rukun kematian, atau sekadar menjadi ketua panitia hari kemerdekaan. Di kampus lebih parah lagi. Setelah lulus SMA, orang tua saya ingin melihat anaknya "mbadok" bangku kuliah dan bersaing dengan anak muda lainnya. Tetapi tawaran itu saya tolak mentah-mentah. "Buang-buang duit," kata saya saat itu. Setelahnya saya justru terkena jebakan "betmen", lalu masuk ke kampus "odong-odong" yang sama sekali tidak punya nama besar.

Kalau kampus ternama biasanya berlabel akreditasi A atau B, kampus yang saya masuki saat itu hanya pantas mendapat akreditasi D, E, bahkan mungkin Z. Universitas yang saya masuki memang ajaib. Mahasiswanya bisa menentukan jam pelajarannya sendiri, bisa nyogok dosen, bahkan tidak jarang saat ujian kehadiran saya diwakilkan oleh kawan saya yang bepenampilan ala gembel dengan rambutnya yang gimbal. Maklum ia anak reggae yang taklid dengan mazhab Bob Marley.

Lebih konyol lagi, dosen kami saat itu tak pernah peduli saat saya "menjawab" soal di warung kopi yang masih berada di dalam lingkungan kampus. Setelah beberapa tahun berjuang mencari ijazah di kampus itu, akhirnya saya menyerah. Saya keluar begitu saja. Tanpa izin dan tanpa penyesalan. Saya berpikir, di kampus "uka-uka" begini saja saya gagal, apalagi di universitas favorit yang banyak melahirkan akademisi atau para politikus andal itu?

Agak jauh ke belakang, saat saya duduk di Sekolah Menengah Pertama, keadaan memaksa saya berpartisipasi di lomba cerdas cermat. Ya, seperti yang sudah diperkirakan, kelompok saya yang beranggotakan tiga orang kalah telak. Bahkan saya tak mampu menjawab satu pertanyaan pun saat itu. Beberapa tahun kemudian saya cukup sering mengikuti kompetisi di berbagai bidang, dari lomba azan sampai festival musik. Hasilnya pun sama saja; kalah dan kalah.

Kalau saya adalah klub sepak bola yang berlaga di devisi utama, mungkin saya hanya bisa meraih dua atau tiga kemenangan dalam 38 pertandingan. Itu berarti klub tersebut akan terdegradasi; turun kasta ke divisi dua. Kalau saya adalah seorang penyanyi, sudah pasti lagu-lagu saya tidak akan masuk ke Billboard Top 100. Penjualan album saya anjlok. Tak akan ada orang yang mau menonton konser tunggal saya. Kalau saya adalah seorang gitaris dari sebuah band, para kritikus dan wartawan akan mengkritisi permainan gitar saya yang buruk. Jangankan untuk dibandingkan dengan Jimmy Hendrix atau Jimmy Page, untuk dibandingkan dengan gitaris lokal saja saya belum layak.

Tempo hari seorang anak menangis. Baru saja ia dikalahkan dalam sebuah kompetisi menyanyi di sekolahnya. Orang tuanya marah besar. Juri dituding tidak adil. Padahal, menurut si orang tua, suara anaknya jauh lebih baik dibandingkan peserta lain dalam perlombaan tersebut. Kekalahan ini dinilai akan menghambat potensi si anak di masa depan. Bagi orang tuanya kemenangan adalah segalanya.

Ada banyak peristiwa serupa yang saya lihat di sini. Sebagian besar orang tua yang idealnya membesarkan hati anaknya saat kalah dalam suatu kompetisi justru membuat mental si anak down. Melihat hal itu, saya hanya bisa diam. Saya tak mungkin menasihati orang yang sedang kecewa. Tetapi, saya pikir kelak mereka akan mengetahui dengan sendirinya bahwa kompetisi bukanlah ajang untuk mencari piala, piagam, sertifikat, apalagi mencari eksistensi dan popularitas.

Dari perjalanan yang penuh kekalahan ini, saya menyimpulkan bahwa kemenangan dalam sebuah kompetisi adalah ketika kita mampu berjiwa besar dan menerima dengan lapang dada sebuah kekalahan dan tidak merasa jemawa ketika kemenangan menghampiri. Sebuah kompetisi hanyalah jalanan kecil menuju gunung yang tinggi. Lagipula menang kalah itu tidaklah penting. Yang penting adalah perjuangan kita. Perjuangan untuk mengarungi berbagai kompetisi kehidupan dunia yang penuh omong kosong ini.

D4/4 - 3.9.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun