Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Gombalisme Jurnalistik

18 Juli 2016   16:57 Diperbarui: 19 Juli 2016   18:58 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Anneahira.com

Sambil menepuk dada, seorang wartawan mingguan mengaku bahwa ia adalah seorang wartawan senior yang sudah malang melintang selama belasan tahun di dunia jurnalistik. Sambil terus meceritakan pengalamannya, ia mengeluarkan beberapa id card yang menunjukkan bahwa ia merupakan seorang jurnalis yang terdaftar sebagai anggota di salah satu lembaga pers kredibel yang diakui pemerintah.

Di tempat berbeda, seseorang mengklaim sebagai wartawan profesional dengan dalih sudah sering mendapat ancaman pembunuhan dari sejumlah pengusaha yang bisnis ilegalnya pernah ia tulis di surat kabar mingguan lokal. Adapula yang mengaku sebagai wartawan namun kerjaannya hanya membuat para pejabat pusing tujuh keliling. Masyarakat biasa menyebut mereka dengan istilah wartawan bodrex.

Dari pengakuan sejumlah pejabat, kelompok wartawan bodrex ini tidak pernah menjalankan profesinya dengan benar. Mereka cenderung menyimpang dari profesi wartawan yang sesungguhnya. Bahkan gilanya lagi, sebagian besar dari mereka ternyata memang tidak bekerja di perusahaan media apapun.

Geli sekali saya mendengarnya. Ternyata ada banyak spesies wartawan ajaib di kampung saya. Padahal, Yurnaldi, seorang wartawan Harian Kompas, di dalam bukunya yang berjudul "Jurnalisme Kompas" menyebutkan standar seseorang disebut sebagai wartawan ketika ia bisa melaksanakan beberapa hal, antara lain memahami kode etik jurnalistik dan tentunya harus memiliki keterampilan menulis jurnalistik.

Selain itu, seorang wartawan harus menguasai teknik penulisan berita, memiliki kemampuan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang baik. Disamping itu, seorang jurnalis harus memiliki integritas yang tinggi.

Tentunya ada banyak syarat lainnya untuk mencapai level "profesional". Seperti melaksanakan seluruh peliputan jurnalistik dalam kondisi apapun, dapat mencari, menemukan, dan menggali narasumber, menulis berita sesuai fakta, menguasai teknik wawancara jurnalistik, menguasai teknik wawancara khusus, menguasai teknik penulisan feature dan tematik, dan memiliki keterampilan menulis extensive feature.

Itulah bedanya wartawan nasional dengan wartawan di daerah. Memang tidak semua wartawan daerah kualitasnya pas-pasan. Namun, entah kenapa, sebagian wartawan yang bekerja di daerah tingkat dua justru terlihat lebih menonjol hanya karena, misalnya, punya banyak kartu pers, punya banyak teman pengusaha, atau pernah dikeroyok preman.

Padahal, untuk menulis berita saja, sebagian wartawan lokal masih kesulitan. Beberapa orang diantaranya justru mengaku tidak hobi menulis. Dan sebagian lainnya malah tidak bisa menulis sama sekali. Kalau pun terpaksa harus menulis karena tuntutan pekerjaan, suasananya harus benar-benar mendukung, misalnya di dalam suasana yang jauh dari kebisingan.

Itu pun harus ditambah lagi dengan aneka sesajen untuk menambah nuansa kekhusyukan dalam menulis berita seperti kembang tujuh rupa dan minyak kasturi yang diimpor dari negeri Yaman. Jika dalam proses pembuatan berita tersebut ada keributan kecil atau ada seekor kucing yang menabrak gelas dan piring, maka buyarlah seluruh ide yang tersimpan di kepala. Dan rencana membuat satu berita "potong pita" dipastikan gagal total.

Karena itu, kalaupun tidak bisa memenuhi berbagai kriteria untuk menjadi seorang jurnalis profesional, setidaknya seorang wartawan haru bisa menulis berita dengan baik dan benar. Tapi, jangankan soal EYD, membedakan antara straight news dengan feature saja seringkali kerepotan.

Mereka yang sering mengklaim sebagai wartawan profesional namun memiliki kemampuan pas-pasan memang hanya fokus dengan simbol-simbol seperti id card pers, kartu anggota kelembagaan, atau seberapa lama mereka menjadi seorang "jurnalis". Padahal, saya tahu betul. Uji kompetensi wartawan di daerah masih bisa "disogok". Lulus tidaknya seorang wartawan tidak melulu dinilai dari kemampuan dan pengetahuannya dalam dunia jurnalistik, namun juga tergantung seberapa dekat si wartawan dengan sejumlah pengurus organisasi pers di tingkat yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun