[caption caption="Sumber Foto: republika.co.id "][/caption]John Lennon yang pernah belajar ilmu meramal nasib kepada Mbah Klowor mengatakan bahwa The Beatles lebih populer daripada Yesus. "Kekristenan telah mati, dan saat ini kami lebih populer dari pada Yesus," kata pentolan The Beatles kepada sejumlah wartawan pada tahun 1966.
Akibat pernyataan kontroversialnya ini, kaset-kaset The Beatles dibakar, grup band asal Liverpool itu akhirnya diboikot di sejumlah negara. Bahkan saking berdosanya, Vatikan baru memaafkan John sekitar tahun 2010. Bayangkan saja, betapa sesat dan menyesatkannya murid Mbah Klowor itu.
Menurut John, kondisi sosial masyarakat pada masa itu memang sudah sangat jauh dari agama. Jangankan menjalankan perintah agama, datang ke gereja saja jarang. Sementara konser-konser The Beatles selalu dihadiri puluhan ribu penonton. Maklum, diantara personel band asal Liverpool itu, John Lennon memang yang paling kritis.
Kritikan John ternyata tidak hanya berlaku pada era 1960-an saja. Kritik pedas itu juga berlaku sampai saat ini. Seperti kita ketahui, bahwa tempat peribadatan di negara-negara barat sono, memang kalah populer dibanding konser Queen, U2, Â atau Coldplay. Namun yang perlu digaris bawahi, statmen John Lennon ini tidak berlaku untuk umat Islam, khususnya umat muslim di Indonesia. Sejauh ini, setidaknya yang saya ketahui, masjid memang tidak pernah sepi dan selalu dikunjungi masyarakat setiap saat.
Memang, tidak semua orang datang sengaja untuk beribadah. Ada juga yang datang untuk menggelar foto prewedding, atau hanya sekadar berwisata sembari mengagumi arsitektur masjid yang megah dan indah. Bagi saya, itu tidak masalah. Yang penting, masjid selalu ramai dikunjungi masyarakat.
Ini merupakan bukti bahwa umat Islam, khususnya di republik relijiyes ini, masih terus berupaya untuk meramaikan masjid seperti pesan para ulama dalam berbagai tausyiahnya. Kalaupun suatu saat ada komunitas masyarakat yang ingin menggelar pertunjukan house music dengan bintang tamu DJ Sudrun, saya juga tidak keberatan. Yang penting masjid selalu ramai.
Begitulah masjid di kampung kami. Masjid sudah berubah menjadi arena objek wisata. Belakangan, masjid juga telah berubah menjadi lambang adu gengsi para konglomerat. Mereka berlomba-lomba membangun masjid dengan gaya megah. "Kalau perlu mengalahkan desain masjid di Timur Tengah," demikian selentingan yang saya dengar.
Kalau boleh saya mau usul. Sesekali, komunitas orang berduit perlu membuat agenda untuk melaksanakan kegiatan festival membangun masjid. Saya yakin akan banyak pengusaha lokal yang tertarik. Sebab, selain berhadiah gengsi dan reputasi, para peserta tentu tergiur dengan hadiah pahala berkali-kali lipat yang dijanjikan panitia penyelenggara.
Kalau perlu, pihak panitia juga harus mengundang jin, dhemit dan para malaikat, sebut saja Malaikat Jibril, Malaikat Malik, Malaikat Ridwan, dan Malaikat Izrail. Kalau diizinkan Tuhan, Malaikat Munkar dan Nakir juga sebaiknya ikut diundang. Ya, itung-itung untuk memeriahkan acara. Daripada cuma menghadirkan bintang tamu DJ Sudrun, komunitas orang lanjut usia pasti tak setuju.
Tapi bagi kalangan orang-orang kismin, festival membangun masjid tentu menjadi event yang hanya ada di khayalan mereka. Karena biaya yang dikeluarkan tentu sangatlah besar. Wong mau nyumbang setiap salat Jum'at saja masih mikir-mikir.
Saya sendiri lebih setuju kalau kelompok orang-orang susah menggelar festival membangun toilet masjid. Selain biayanya lebih murah, masyarakat juga bisa gotong royong membangun secara swadaya.
Ya, setidaknya ini jauh lebih rasional. Apalagi sebagian besar musafir tentu lebih membutuhkan masjid sebagai tempat istirahat sekaligus tempat buang hajat daripada memanfaatkan masjid sebagai tempat untuk beribadah. Termasuk saya, mampir ke masjid saat kebelet buang air kecil saja. Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H