Mohon tunggu...
Cahyo Prayogo
Cahyo Prayogo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

orang ini adalah seorang penulis puisi amatir.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Sebenarnya, Bisakah Manusia Eksis?

3 Mei 2015   18:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pagi itu tak seperti pagi biasanya. Angin seperti ketakukan berlarian ke sana-sini. Matahari pun tak muncul-muncul, gelap begitu betah. Di salah satu sudut di permukaan Jakarta salah seorang perempuan tua berusaha keras menahan sakit. Tak ada suara, hanya air mata yang keluar tak henti-henti dari sudut matanya. Tak ada erangan, hanya napas berat yang cepat tergesa-gesa.

Pagi itu sanak keluarga perempuan tua mau tak mau menangis juga ketika melihat orang yang dikasihinya meregang nyawa. Mereka belum sempat salat subuh. Pikiran mereka terlalu bingung, tubuh mereka terlalu lelah, dan perasaan mereka terkadang masih belum rela.

Di luar sana orang-orang baru saja memulai hari. Ada yang baru beranjak dari tempat tidurnya. Ada yang sedang berlari-lari kecil di taman dekat rumah. Ada juga orang yang sedang menyusuri lorong-lorong pasar dan sibuk mengisi plastik belanjaannya. Dan di dalam ruangan ini satu orang baru saja menutup kisah hidupnya.

Perempuan ini bukan perempuan yang memiliki kisah indah, apalagi inspiratif. Bisa dibilang dia adalah semacam tokoh-tokoh yang kalah dalam sebuah kisah, bisa kita sebut sebagai korban dari sebuah kehidupan. Dia tidak pernah menempuh pendidikan. Sejak muda dia sudah harus pergi dan bekerja di Jakarta demi memenuhi kebutuhan hidup kelima adiknya. Dia sendiri tidak bisa berharap pada siapapun. Ayahnya meninggal dunia sejak  ia muda dan ibunya hanya petani biasa. Modal hidupnya cuma nekat dan sedikit kepasrahan.

Masa mudanya tidak penuh dengan kisah indah nan bahagia. Dia lebih sering menerima makian karena melakukan kesalahan daripada mendapat pujian karena berprestasi dalam pekerjaan. Dia tidak pernah tahu harus melakukan apa saat bekerja, dia tidak pernah tahu apa yang terbaik, dan dia juga tidak pernah tahu kenapa majikannya selalu marah padanya.

Dia sempat gonta-ganti pekerjaan, pindah tempat kerja. Dia tumbuh dan menjelma jadi perempuan pendiam. Dia jarang bercerita tentang apa yang ia rasakan, ia tidak pernah mengungkapkan apa yang dirinya inginkan, dia lebih banyak memendam perasaan. Tanpa sadar ia pun telah menjadi tua, adik-adiknya tumbuh besar juga. Adik-adiknya menikah, membeli rumah, memiliki anak-anak. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Ia tidak pernah menikah, tidak punya rumah, dan tak punya anak untuk mengusir kesepiannya.

Sampai tua ia masih harus bekerja. Saat sore hari ia pergi ke rumah pedagang uduk dan memasak hingga larut malam. Tengah malam ia tidur sebentar dan harus bangun lagi saat dini hari untuk memasak lagi. Kemudian siang hari baru pulang ke rumah (yang dibangun oleh adiknya) dan beristirahat hingga sore hari. Hal itu terus ia lakukan berulang-ulang.

Suatu hari ada acara kumpul-kumpul di rumah keluarga. Adik-adiknya datang, saudara jauhnya semua berkumpul. Pertemuan itu penuh canda dan pembicaraan. Ada yang mengeluh tentang pekerjaannya, ada yang bangga karena anaknya akan pergi ke luar negeri, tapi perempuan itu itu hanya diam saja. Ia tidak menyampaikan keluhan dan juga tidak memamerkan apa yang sudah ia dapatkan di hidupnya.

Perempuan tua itu lebih memilih untuk tidur di kamar belakang. Sebenarnya ia sedang tidak enak badan hari itu. Sudah beberapa hari kepalanya terasa pusing. Hari itu juga ia merasa sangat mual. Ia sempat muntah, tapi orang-orang hanya menganggap bahwa ia sedang masuk angin. Jadi, tidak ada orang yang peduli padanya saat itu.

Sayangnya, penyakit yang diderita perempuan tua itu bukanlah penyakit pusing biasa atau sekedar masuk angin saja. Tubuhnya sedang tersiksa karena tekanan darahnya terlalu tinggi. Sampai akhinya pembuluh darah di otaknya pecah dan ia tidak sadarkan diri. Ketika ia tak bangun-bangun padahal acara sudah bubar sesungguhnya ia sedang koma. Banyak orang tak sadar. Begitulah, sampai akhirnya malam tiba dan perempuan tua itu tidak bangun juga.

Akhirnya, ia dibawa ke rumah sakit. Ia dirawat di sana sampai seminggu lamanya. Selama seminggu itu beberapa kali ia sempat tersadar, meski tidak terlalu lama, dan apa yang ia ucapkan hanyalah soal ibunya yang berada di kampung. Ibunya pun pergi ke Jakarta. Ibunya memang perempuan yang tegar dan tangguh. Meski usianya sudah hampir delapan puluh tahun, tapi tubuhnya masih sehat. Ia hanya diam saja ketika memandang anaknya tak berdaya. Anaknya pun sudah tak tersadar sama sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun