Pagi hari mengawali hiruk pikuk kehebohan di rumah ketika semua penghuninya akan pergi beraktivitas. Hidup berjalan seperti biasa , hanya satu perubahan besar yang terlihat akhir-akhir ini; semua orang bermasker!. Tentu saja, pandemi yang muncul diawal tahun 2020 menjadi terobosan terbaru bagi kita semua.Â
The new life yang sering diujarkan lewat media massa menjadi buku panduan bersama demi menjaga kelangsungan hidup manusia. Saat ini, masker, faceshield, hand sanitizer sudah sangat bersahabat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Sampai hari ini, saya tinggal di negara yang sempat mengalami lockdown selama 2 bulan. Pemerintah Perancis mengambil tindakan ini guna memperlambat penyebaran virus yang memakan korban jiwa.Â
Awalnya, keputusan ini dianggap menginjak-injak kedaulatan Hak Asasi Manusia dimana Perancis sangat menyokong ideologi ini. Â Sudah pasti, kritikan terhadap pemerintah menjadi konten sehari hari di media cetak ataupun media sosial.Â
Sejak menetap di negara ini, saya mengamati beberapa stereotype rakyat Perancis yang seringkali dibahas dibergabai kesempatan termasuk majalah-majalah berlatar belakang psikologi. Karakter utama orang Perancis yang sangat terlihat, bahwasanya mereka seringkali mengeluh dan mengumpat. Hal ini sudah seperti olahraga tingkat nasional saja!. Mengeluh untuk semua hal mulai dari hal yang kecil, agak penting sampai hal yang besar.Â
Perihal ketinggalan bus ataupun lupa membawa masker bahkan kesenggol orang ditransport pun akan memberi kesempatan untuk  meluapkan emosi. Karakter kedua orang Perancis adalah pesimis, percakapan bersifat pesimis terkadang mendominasi percakapan sehari hari. Bahkan saya sampai bisa merasakan energi  negatif yang langsung terpancar ketika saya keluar rumah, ajaib bukan?
Pada awal tahun menetap disini, saya mengalami culture shock* dimana saya tidak bisa memahami mengapa penduduk di negara ini selalu saja mengeluh. Mereka seperti tidak pernah puas akan apa yang mereka miliki. Sedangkan kalau berkaca pada diri saya sendiri yang datang dari negara berkembang, hidup di negara modern sudah jauh lebih  beruntung!
Dengan semua fasilitas baik kesehatan, pendidikan ataupun kelayakan hidup yang dijamin oleh pemerintahnya, seharusnya warga Perancis bisa menikmati kesejahteraan tersebut. Namun, stigma manusia tidak pernah puas tampaknya berhasil dianut merasuki hidup para penduduk negara modern ini.
Tahun demi tahun berlalu, sayapun semakin terbawa oleh gaya hidup negara yang saya pijak. Tahun pertama, Â kedua dan ketiga saya masih memiliki energi positif ala Asia dimana ibaratnya senyum adalah ibadah. Namun, semakin tahun beranjak, saya semakin mengadopsi filosofi hidup orang Perancis.Â
Saya menjadi suka mengumpat, mengeluh akan hal yang tidak penting, pesimis seakan akan hidup saya kurang beruntung. Mungkin secara tidak sadar saya mengimitasi orang Perancis  agar saya bisa diterima dan berintegrasi dengan negara ini.Â
Satu pertanyaan yang selalu lewat dikepala saya "Mengapa dinegara yang menjamin hidup rakyatnya, disanalah tingkat depresi justru lebih banyak daripada dinegara terbelakang?".Â
Kata- kata seperti "stress, tidak mungkin atau saya muak" seringkali saya temui disetiap percakapan dengan warga negara ini. Saya mengira apakah ini hanya sebuah trend dalam berbicara saja, namun mengapa efeknya membuat hari saya menjadi ikutan negatif.Â
Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup lama, saya memutuskan untuk mencari kebahagiaan saya sendiri. Saya mulai membaca buku-buku  filosofi demi mencari tahu tentang apa arti kebahagiaan.
Salah satu buku yang pernah saya baca berjudul "The How Of Happiness"  hasil karya dari seorang professor psikologi, di University of California ; Sonja Lyubormirky. Melalui karyanya, beliau menjabarkan persentase  sumber kebahagiaan  yang dapat dibagi menjadi tiga kategori :
- 50% kebahagiaan berasal dari genetik.
- 40% kebahagiaan berasal dari pilihan hidup kita serta bagaimana kita mengartikan hidup.
- 10% kebahagiaan berdasarkan dari faktor luar dan lingkungan hidup kita.
Berdasarkan penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa faktor genetik berpengaruh besar dalam kebahagiaan seseorang. Maka dari itu memang benar ada orang yang pada dasarnya selalu terlihat depresi, pesimis dan negatif dalam kesehariannya. Mungkin, bisa saja genetik orang Perancis sendiri memang secara alamiah sudah seperti itu.Â
Berkat penelitian ini, saya berusaha memahami lebih jauh tentang perbedaan genetik yang dapat berpengaruh pada mood seseorang. Namun, perihal genetik yang memegang peranan besar, hal ini tidaklah menutup kemungkinan bagi kita untuk tetap bisa berbahagia. Kita masih memiliki 40% sumber kebahagiaan yang masih diusahakan melalui jalan pilihan hidup kita sendiri. Â Ibarat kata pepatah; masih banyak jalan menuju Roma!
Kesalahan terbesar yang seringkali menghambat kebahagiaan adalah rasa ingin mengontrol semua peristiwa yang terjadi. Sehingga ketika kenyataan tidak sesuai ekspektasi akan menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam. Guna mengatasi kekecewaaan ini rasanya paham stoikisme bisa menjadi buku pedoman dalam bertindak di kehidupan sehari-hari. Filosof asal Yunani ini menyatakan bahwa suatu peristiwa yang terjadi memiliki dua interpretasi yang berbeda ;
- Peristiwa atau sesuatu hal yang dapat kita kontrol, contohnya: keinginan, sudut pandang serta tindakan etc.
- Peristiwa atau sesuatu hal yang tidak bisa kita kontrol karena tidak hanya bergantung pada diri sendiri, contohnya; kesehatan, kepemilikan, keberhasilan, fenomena alam etc.
Peristiwa yang bergantung pada diri kita sendiri, secara garis besar berada dibawah kendali kita. Akan tetapi ketika berhadapan peristiwa yang diluar kendali manusia, hanyalah ketenangan batin yang bisa membantu untuk melewatinya.Â
Melalui buku "Happiness" Frdric Lenoir mengajarkan perihal menerima kenyataan seapadanya dengan legowo. Berserah dan percaya pada hidup itu sendiri dengan mengambil intisari pelajaran hidup melalui peristiwa yang terjadi.Â
Dulu saya kurang bisa memaknai kata kata "masih untung masih bisa makan atau masih untung tidak luka parah", saya sebal dengan kata kata "masih untung". Â Namun dengan bertambahnya umur, kalimat tersebut mendukung proses pembelajaran diri untuk melihat sisi positif sebuah peristiwa.Â
Belajar untuk menerima keadaan yang terjadi dengan seikhlas-ikhlasnya dan selalu "ada" di setiap peristiwa yang terjadi. Dua resep ini bisa membantu untuk berdamai dengan kekecewaan hati ketika kenyataan tidak sesuai harapan.
Peristiwa pandemi ini sudah jelas telah mengubah pola hidup manusia, mematahkan rencana rencana yang telah dibuat dan memisahkan jarak silaturahmi para kerabat. Tentu saja pada awalnya perubahan ini sulit diterima dengan cepat. Tetapi apakah kita mempunyai pilihan? Kalau sudah menyangkut fenomena alam dan kesehatan, kedua hal tersebut sudah diluar kendali kita.Â
Hal pertama yang mungkin dapat membantu untuk mencerna peristiwa ini adalah ; menerima kenyataan. Selanjutnya beradaptasi dengan keadaan dengan mengambil sisi positif yang terjadi karena pandemi ini. Kebahagiaan berdasarkan faktor luar hanya 10% dari resep bahagia kita, jadi masih ada 40% lagi yang dapat kita tingkatkan untuk  tetap berbahagia. Berikut beberapa langkah sederhana yang mungkin bisa diterapkan agar tetap waras ditengah pandemi :
- Jangan lupa tersenyum, baik dengan orang sekitar ataupun tersenyum sendiri dikaca.
- Dekat-dekat dengan orang orang yang memiliki aura positif atau memiliki humor. Dimasa pandemi seperti ini, bertukar pesan lucu bisa menjadi mood booster.
- Menonton film lucu, mendengarkan podcast, radio  atau membaca buku yang bisa membawa energi positif.
- Mengingat-ingat kejadian lucu yang pernah kita alami.
- Menertawakan kebodohan diri sendiri, keluarga, teman atau  kerabat pada hari ini.
Melalui hal yang sesederhana ini kita bisa memulai hari dengan energi yang positif. Â Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan penyesalan yang bertolak belakang dengan kenyataan.
Salam bahagia!
*Culture shock adalah suatu proses aktif dalam menghadapi perubahan saat berada di lingkungan yang tidak familiar. Proses aktif tersebut terdiri dari affective, behavior, dan cognitive individu, yaitu reaksi individu tersebut merasa, berperilaku, dan berpikir ketika menghadapi pengaruh budaya kedua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H