Hidup dan canda, apakah dua kata ini bisa bersimbiosis secara seimbang? Jikalau canda bisa membuat hidup lebih hidup. Sudah selayaknya komedi menjadi bagian dari hidup ini! Namun, bagaimana kalau komedi yang seharusnya membahagiakan, ternyata malah menjerumuskan? Menjerumuskan seseorang menjadi berpura-pura, seakan tegar tapi sedih, kuat tapi lemah ataupun bahagia tapi menderita.Â
Saya prihatin terhadap nasib Joker, perasaan saya berhasil tercabik-cabik oleh jalan cerita film Box Office ini! Dahulu, saya pernah tergila-gila dengan Joker di saat saya aktif mengadu strategi lewat kartu remi. Dan di lain sisi, saya juga sebal dengan kegilaan Joker sebagai tokoh antagonis di berbagai film.Â
Tetapi, film Joker yang saya lihat kali ini sangat berbeda. Film ini menyajikan cerita yang tidak bisa hanya numpang lewat saja tanpa meninggalkan kesan. Saya melihat Joker kali ini sebagai gambaran dari realita hidup yang sebenarnya. Semua tragedi yang tergambar di film itu memang bukanlah hal yang baru lagi.
Kehidupan Joker di film ini hanyalah persoalan nasib bagi orang yang percaya kekuasaan Sang Pencipta dan persoalan kebetulan teruntuk kalangan yang lain. Suatu scene yang masih membekas di ingatan saya : ketika sang tokoh utama melihat diri sendiri di depan kaca sembari tertawa menghapus gincu merahnya.Â
Penggambaran tawa ini sangat abstrak, bahagia, sedih, luka, puas dan kegilaan bercampur aduk menjadi satu, sebagai orang yang memang menyadari bahwa dia memiliki kelainan jiwa. Kesadaran moral yang dimilikinya ini membuat dia mengerti kekurangannya. Ia pun menyadari bahwa hidupnya harus selalu dikontrol oleh obat-obatan demi kesinambungan koneksi syaraf di otaknya.Â
Sampai- sampai dia memiliki kartu disabilitas yang selalu ia bawa ke mana saja. Tindakan pencegahan untuk orang di luaran sana yang bisa saja menghakiminya jikalau dia tertawa lepas tak terkontrol. Kesimpulan saya sampai di sini bahwa Joker itu pada dasarnya bukanlah orang yang jahat.
Penggambaran tokoh Joker di awal cerita bak layaknya orang normal kemudian berubah 180 derajat. Ujung tombak dari rentetatan permasalahan bermula dari pemberian senjata oleh rekan kerjanya. Senjata yang bisa bebas dimiliki oleh semua warga negara Amerika memang mengundang banyak kontroversi.Â
Terlepas dari sejarah dan budaya Amerika, saya sangsi kalau orang waras akan sangat bijak menggunakan senjata api. Manusia pada dasarnya memiliki insting untuk membela diri, bukan? Otak kita ini sudah terlanjur merekam kebiasaan-kebiasaan manusia primitif yang berburu demi menghidupi hidup, dan juga membela diri ketika ada marabahaya.Â
Lalu, bisakah manusia, berhadapan langsung dengan sejata api dan selalu bersikap sebijaksana mungkin dengan tidak menggunakannya ketika hidupnya terancam bahaya? Kontradiksi yang berkecamuk di benak manusia sangatlah rumit : pertentangan antara insting alami primitifnya dan batasan moral yang ada di masyarakat. Jadi, apa yang harus didahulukan?
Sigmund Freud menyatakan "Budaya yang kita miliki mengambil andil yang cukup besar atas kesengsaraan kita" dijelaskan dalam bukunya Le Malaise dans la culture.Â
Tuntutan culture secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga : keindahan, kebersihan, dan aturan. Kalau mau masuk ke dalam sistem masyarakat dan diakui keberadaannya, ya manusia harus mematuhi ketiga hal ini. Ikuti aturan yang berlaku, jikalau menyimpang dari pakemnya maka kamu bukan lagi bagian dari masyarakat. Bisa jadi kamu dikucilkan sebagai manusia aneh! Keindahan pun menjadi patokan sebuah penilaian yang bagus atau tidak bagus.Â