Mohon tunggu...
puhid akhdiyat
puhid akhdiyat Mohon Tunggu... Buruh - ⛔

👨‍🦱; kamu pernah liat nggak, kapan Tuhan tersenyum? 👧; nggak tau, emang kamu pernah liat? kapan? 👨‍🦱; sewaktu dulu di dunia aku pernah berdoa meminta kepadaNya, agar aku di jodohkan denganmu, tetapi doanya pake doa makan sesudah tidur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Sebuah Tempat yang Kita Namai Rumah

16 Februari 2021   05:47 Diperbarui: 16 Februari 2021   08:20 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Aku bahkan bukan sebuah perjalanan
Untuk terlalu sabar menggandeng tangan seseorang hingga sampai dengan selamat
Untuk terlalu menyenangkan bagi siapapun yang hendak terburu-buru menuju

Aku cuma aku
Cuma halte persinggahan
yang bisanya cuma menyinggahkan beberapa harapanku sendiri yang sewaktu-waktu lupa jalan

Tetapi kamu lain
Mengapa kamu selalu mau aku tetap menjadi perjalanan?
Meskipun sering aku bilang sudah lelah.
Katamu ; "Aku masih disini menjadi rumah. Kamu boleh saja datang kamu boleh saja pergi. Tetapi jangan sekali-kali singgah di tempat lain dengan menerbitkan harapan manis pada ingatan seseorang. Sebab singgah yang sebentar pun sanggup melekat selamanya."

Aku bahkan bukan sebuah rumah
Untuk terlalu tabah menunggu kapan seseorang akan pulang
Untuk terlalu ramah bagi siapapun yang hendak berlama-lama tinggal
Aku cuma aku
Cuma kamar penginapan
yang bisanya cuma menginapkan beberapa perasaanku sendiri yang sebentar-sebentar pamit bepergian

Tetapi kamu lain
Mengapa kamu selalu mau menjadi rumah?
Meskipun sering aku bilang sudah tak betah.
Katamu; "Ini bukan tentang kamu yang mau kemana, atau aku yang tak ingin kemana-mana. Melainkan tentang menuju kemana kita sama-sama hendak. Yakni ke sebuah tempat yang dulu pernah kita namai rumah."

Saya bahkan bukan sebuah kampung halaman
Untuk terlalu baik merawat dewasa seseorang hingga jadi pelupa
Untuk terlalu setia bagi siapapun yang hendak memutar kembali kenangan
Aku cuma aku
Cuma debu-debu perkotaan
yang bisanya cuma mengotori beberapa sederhanaku sendiri yang lama-lama berubah jadi keangkuhan

Tetapi kamu lain
Mengapa kali ini kamu mau kita menjadi kampung halaman?
Meskipun sering aku bilang hidupku sudah bahagia bersamamu.
Katamu ; "Aku cuma rumah sementara. Tempat singgah dan pulangnya segala hal yang pernah kita sebut nyaman. Dan bukankah rumah yang sebenarnya rumah kita ialah kampung halaman?. Tempat mudiknya segala hal yang selama ini kita sering lupakan. Termasuk kematian."

Bintaro, 16/02/2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun