Mengakar tak serumput lugu muda berbaring di alas kaki yang nalar kira; Tak semudah ilalang menguning lalu terbakar selesai, pula tak segampang mencabut tak bertunas kembali.
Menancap tak sebalok kayu renta berdiri di tanah basah yang logika duga; Tak semudah papan sempoyongan lalu tersender rubuh pula tak segampang terkubur tak menjamur kembali.
Menyelam tak sebatu lapuk buta bersembunyi di dasar sungai yang maaf sangka; Tak semudah sesal pecah lalu berkerikil pula tak segampang terhanyut tak berpasir kembali.
Menyiram tak sesegar langit teduh mencoba menghapus kebencian di perut bumi yang semesta pinta; Tak semudah mendung timang-timang angkara tertidur pula tak segampang bermimpi benci tak bangun kembali.
Menyusup tak sepantau mata telanjang pergoki lupa di halaman belakang puisi masa kecilku begitu bahagianya; Tak semudah tertangkap dalang carut marut negeri tercintaku ini pula tak segampang Penguasa bumi telunjukan jari tangkap adili tak mengamuk kembali. Sebab,
Kemarau panjang friksi ini telah berkerak di dasar ingatan setiap insani yang tak semudah terhapus oleh hujan rekonsiliasi yang cuma sehari; Cuma formalitas tak benar-benar sepenuh hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H