Pagi sepagi tadi saat lelahnya anak embun masih bermimpi di daun pintu griyamu yang terbuka sendiri, aku hanya mengerti satu-satunya caranya berselindung lupakan mimpi.
Siang sesiang begini ketika tamparnya terik mentari pastikan bila pagi yang indah tadi hanya mimpi bersebadan ilusi, aku hanya pahami sendiri tapi pasti buatmu mencekik hati.
Sore sesore nanti di mana burung gereja pulang tanpa membawa sesuap jawaban teka-teki jangan sesekali pernah mengusir pergi, sebab aku telah mati-matian terbang tak tenang seharian menimbang baik buruknya tapi tetap dianggap main-main.
Malam semalam sepi kala mana aku datang sekali lagi hendak memetik daun pintu griyamu yang kini terkunci, aku hanya mengerti mengapa ada sepatu pria lain yang jejaknya kamu inapkan di ruang tamu sementara wajahnya berubah poster hiasi kamarmu tapi hatinya kamu letakkan terlentang di front pintu kamar mandi.
Lalu bagaimana bila aku ini adalah lelahnya anak embun yang masih saja bermimpi melewatkan siang sore malam, semua ini hanya ilusi. Maka aku ini hanya mengerti satu-satunya cara berkolusi dengan buruknya mimpi; Anggap saja aku tadi tak pernah melihatnya, pernah ada, tak melihatnya, sekalipun tadi bukan mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H