Mohon tunggu...
Puguh Windrawan
Puguh Windrawan Mohon Tunggu... -

I'm a writter...:)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mencari Jalan dan Semuanya Punya Alasan

29 Desember 2010   03:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:16 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca buku "Eat, Pray, Love" karangan Elizabeth Gilbert membuat saya tertegun sejenak. Tepatnya; berpikir! Lantaran dari dulu saya berpikir bahwa orang di dunia barat sana jarang sekali berpikir tentang religiusitas. Tengok saja bagaimana buku, film dan berbagai bentuk karangan ilmiah yang mereka kemukakan. Bukankah sangat jarang yang mengupas berbagai bentuk prinsip-prinsip ke-Tuhanan? Mungkin hal ini karena ketidaktahuan saya yang sama sekali belum pernah menginjakkan kaki ke luar negeri. Jadinya, saya hanya bisa menelaah kebudayaan orang barat melalui media-media sekunder, seperti buku, film, televisi dan semacamnya.

Dari media-media tersebut seolah menggambarkan, betapa keringnya situasi yang mereka peragakan, sekali lagi, setidaknya ini menurut penilaian saya. Film-film barat, terutama dari dunia barat, selalu mengetengahkan runyamnya kehidupan mereka, mulai dari tingginya angka perceraian, kekerasan dan seks bebas. Tetapi, lewat buku setebal 372 halaman milik Elizabeth Gilbert ini, yang telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, ada secuil perubahan yang menurut saya cukup berarti. Ternyata, ada seorang wanita karir yang kemudian berubah pemikirannya, dari semula yang orientasinya keduniawian menuju kehidupan yang lebih berarti; yaitu mencari Tuhan. Bukan perkara mudah untuk melakukannya. Tapi ini menjadi sebuah hal yang penting untuk menjaga keseimbangan hidup.

Saya ingin bercerita sedikit tentang buku yang ditulis perempuan yang akhirnya menemukan kebenaran di pulau Bali itu. Sebelumnya, Elizabeth Gilbert hidupnya tidak berada dalam ketenangan. Perceraian dengan suaminya menimbulkan luka yang mendalam. Beberapa kali hubungannya dengan lelaki juga tidak membuatnya menemukan apa yang sebenarnya ia cari. Akhirnya, ia memutuskan sebuah hal yang luar biasa, setidaknya menurut saya. Ia melalangbuana ke ujung dunia hanya untuk mencari kedamaian.

Lalu apa kedamaian versi Elizabeth Gilbert? Itulah religiusitas.

Lalu ini pertanyaanya kemudian;

"Mengapa untuk menemukan Tuhan, harus memerlukan pencarian?"

Menurut pemikiran subyektif saya, selalu ada alasan mengapa manusia lahir ke dunia ini. Hal ini sama saja dengan pertanyaan; mengapa muncul tumbuhan? Mengapa ada hewan melata di dunia ini? Mengapa harus ada itu semua? Tentunya hal ini diciptakan karena ada sebuah kebutuhan dan ada alasan di balik itu semua. Atau contoh ini yang mungkin akan lebih mendekatkan kita kepada kenyataan; Mengapa mahasiswa itu melakukan demonstrasi kepada pemerintah dan menuntut perbaikan di segala lini kehidupan? Bukankah ada alasan mengapa para mahasiswa itu melakukannya? Bahkan, untuk sekedar ikut-ikutan turun ke jalan, sekali lagi; hanya ikut-ikutan, merekapun tetap saja mempunyai alasan tersendiri.

Alasan atawa sebab musabab.

Kosakata inilah yang akan memberikan pengertian kepada kita, mengapa kita butuh sesuatu untuk menjadi sandaran. Saya yakin, kita pernah semua pernah merasakan kesususahan itu. Entah itu yang kekurangan harta, anak sakit, hutang menumpuk, pacar yang selingkuh, atau apapun masalah itu, yang jelas membuat hati kita sakit dan terpuruk. Inilah yang kadang tidak kita duga. Tatkala kesedihan itu mendatangi kita bertubi-tubi, maka entah mengapa kita memerlukan sandaran, dan biasanya sandaran itu tak jauh-jauh dari rasa percaya kepada Tuhan.

Kita hanya perlu yakin saja bahwa;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun