Mohon tunggu...
hari nan petang
hari nan petang Mohon Tunggu... Dokter - hari nan petang merupakan catatan perjalanan senja mengabadikan setiap moment yang hanya merupakan serpihan-serpihan bermakna

hari nan petang lahir di kota Klaten Jawa Tengah, belajar di kota gudeg hingga kota hujan. Meniti karir buruh dan mengabdi negeri sebagai ASN

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Awan Menggantung di Morotai

2 Juni 2017   16:38 Diperbarui: 2 Juni 2017   16:43 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Gunung Gamalama pernah bertahta setiap kali menunjukkan kekuatannya. Tak ada yang bisa menghentikan isak tangisnya di ibukota pulau itu. Kisahnya pernah menjadi saksi bisu pada bebatuan hitam yang terpahat disekitar lereng. Jikapun tiba-tiba bergetar rasa bumi, penduduk pulau Ternate berhamburan keluar menuju lautan, karena tak ada jarak dan payung yang dapat melindungi ibukota tersebut.

Lalu, perjalanan kami dari bandara harus segera menyeberang ke pulau sebelah menuju Sovivi. Pulau K lebih kecil, mungkin anaknya Pulau Sulawesi yaitu Halmahera. Walaupun kotanya baru dan masih sepi mungkin perkembanganya pun lambat tak seperti Ternate, Tobelo, dan Morotai. Akses menjadi kendala mengingat penduduk sebagian besar berasal dari Ternate. Kalaupun harus bekerja tiap hari menuju pulau Halmahera minimal mengeluarkan ongkos speedboat 100ribu PP. Belum lagi cuaca yang sering kali meninggikan ombak yang menghempas. Berdoa sajalah bila menyeberang kondisi cuacanya begitu. Namun, sahabat kita disana sudah faham benar melihat senyum manis langit yang mulai memanja, memahami kapanpun bisa menyeberang ataupun harus bersabar menanti. Seminggu lalu juga ada kejadian pas musim durian. Kapal kecil memuat durian tersembul air, dan lenyap. Beberapa penumpang selamat mendekap erat durian terapung, bersama derasnya ombak. Alhmdulillah...bantuan segera datang menyelamatkan mereka.

Lalu, perjalanan darat kami masih jauh kira-kira empat jam dari Sovivi yaitu Tobelo. Sebaiknya memutuskan untuk menginap disana atau pulang, ataupun sebentar lagi bisa sampai menyeberang ke Morotai. Pulau dengan pemandangan eksotik dan merupakan sumber besi putihnya. Konon pulau ini merupakan salah satu pusat pengendali perang dunia ke-2. Dimana-mana terdapat banyaknya bekas-bekas senjata dan besi-besi reruntuhan peperangan. Bahkan kadang ada masyarakat yang menemukan bola-bola mesiu yang masih aktif di darat ataupun di lautan. Kadang pula tank baja yang terkubur tanah dan ditumbuhi rerumputan. Sekarang rongsokan besi-besi bekasnya sebagian dimanfaatkan penduduk sebagai bahan untuk kerajinan/pernak pernik perhiasan.

Langit sudah mulai gelap daratan kelapa Tobelo pun belum nampak, kami memutuskan mampir di simpang bakar ikan mencerahkan mata perut. Tobelo atau Morotai urusan nanti setelah dapat berfikir jernih. Dan hujan pun turun dan menyapa kepada siapapun. Menurut naluri penduduk ini pertanda bahwa tak mungkin dapat menyeberang ke Morotai. Mata Dewa nya mengatakan selepas pelabuhan disana langit telah gelap dan gelombang pasang tak ada yang bisa mengukur. Sudahlah, alam ini ada yang memang milik-Nya manusia tak berkuasa atas segalanya, manusia hanya dapat memanfaatkan seperlunya dan melestarikanya.

"Cerita Morotai masih di awan namun daratan Tobelo telah mengantarkan kami singgah sebentar sebelum waktu terburu larut pagi". Waktunya harus kembali ke tepian Sovivi empat jam kemudian. Sekian.

 

Harinanpetang "2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun