[caption caption="Sumber illustrasi :.Harinanpetang 16"][/caption]Cerita kenanganmu telah usai, namun memori tak bisa terhapus begitu saja. Ini tempat terindah yang pernah kau datangi dan berlama-lama menghabiskan waktumu membuat sketsa pendakian. Tentang keindahan daratan tinggal ditanah tuan yang tak terlupa. Senja telah berganti, rembulan malu mulai mengintip dibalik perbukitan. Sementara Si kuda putih telah ditambatkan di padang ilalang oleh Sahara. "Engkau tunggu disini semalam, hingga aku turun dari pendakian nanti pagi membawakan rumput kesukaanmu" kata Sahara kepadanya. Di sisi lain ini bulan September indah dimana bunga bermekaran diatas puncak dan rasanya aku ingin memetikan sekuntum untuk Sahara nanti
Ini sudah pukul 20.00 WIB kami dengan rombongan lain telah siap di basecamp untuk mendaki perbukitan terjal itu. Namun, sang kuda meringik seakan tak mau ditinggakan Sahara begitu saja. Semangatnya hanyalah menghirup udara segar, mencintai dan dicintai alam serta bersyukur atas karya ciptaan-Nya. Pos pertama, kedua, dan ketiga telah terlewati kami memutuskan untuk berhenti sejenak memanaskan air. Tubuhnya mulai menggigil kedinginan, wajahnya semakin pucat dengan langkah kaki mulai perlahan menyusuri jalan setapak ini.
Sudahlah,...Sahara....sini..!! Ku buatkan minum untukmu... Mungkin cukup meredakan lelah sementara. Pendaki lain sudah berjalan di depan, kini tinggalah aku dan kau. Kakinya sudah lecet berdarah dan rambut panjangnya mulai kusut. Walaupun demikian semangatnya menggapai puncak tak bisa di bendung lagi. Entah apa yang membuatnya begitu semangat tanpa pedulikan hujan yang setiap kali datang, bahkan kadang angin berkabut. Oke...Kalau itu maumu akan ku temani pendakian ini. "Ayolah..teruslah melangkah meski pelan, kita tidak akan tersesat" sambutku .
Bulan telah sembunyi di balik awan sementara langit merundung  berubah gelap. Bintangpun muram tak berkedip di dua pertiga pendakian ini. Tak ada kabarpun dari pos ke empat, apalagi rombongan yang sudah berjalan di depan. Angin semakin berhembus kencang, begitu pula sering terbau asap belerang dari kawah sebelah. Fumarol, sulfator, dan mafet  apapun namanya gas yang dikeluarkan oleh gunung berapi itu pertanda tidak Baik.Â
"Sahara aku tak tega melihatmu, sudahlah urungkan niatmu ke puncak itu" kataku. Sementara kuda putihmu tadi juga telah memperingatkanmu. Meskipun ini sudah pos empat, satu pos lagi impianmu menggapai puncak itu akan terwujud. Dan bunga itu mungkin salah satu alasan semangatnya (mungkin ia telah dapat membaca pikiraku). Tetapi tidak, kadang alam punya rencana lain yang hanya dikendalikan oleh sang pencipta-Nya.
Pertengkaran terjadi antara naluriku dan semangatnya. Sahara....Apa yang kau cari diatas sana, Sahara? Cinta alammu?Cinta Negerimu? Atau ingat pesan kudamu atau Cintamu? Sedikit tersipu ia mendengar kekesalanku dalam lereng tebing ini. Bila itu yang kau cari Sahara, lupakan puncak ini dan ikutlah denganku segera menuruni lembah ini. Karena hanya ini yang akan selamatkan kita dari abu panas yang segera keluar dari perut bumi.
 Catatan pendakian ini bisa kita tulis lagi di lain waktu, tetapi waktu kita akan segera habis bila tidak segera menuju pos satu. Perlahan tangannya menggenggamku tanpa bicara berbalik arah menuruni lereng bukit. Dengan kaki dan semangatnya yang pudar, sorot matanya pun masih nampak indah.
Sahara....,kau lihat diseberang sana??? Â Ia... itu kuda putihmu menjemputmu....lupakan tas ransel ini cepatlah... karena diatas sana sudah terlihat bulu domba (awan panas) yang meluncur dari arah puncak. Aku dan Sahara berpeluk erat segera menaiki kudanya dan berlari kencang meninggalkan gunung itu. SEKIAN.
Â
Bogor, 16 September 2016
Karya ini diikitsertakan dalam rangka Event Romansa September RTC