Perjuangan pasar mama-mama pedang asli Papua semakin terasa tak pasti. Ada banyak aksi yang dilakukan oleh mama-mama pedagang asli Papua (selanjutnya akan dipakai...MAPAP) untuk menarik perhatian pemerintah propinsi Papua dan Gereja. Namun upaya tersebut tidak pernah ditanggapi serius oleh pemerintah. Demikian juga pemimpin Gereja tidak pernah menyuarakan derita MAPAP yang semakin membara ini. Katanya para pemimpin mau membangun Papua Baru. Tetapi manusianya sampai kini masih belum mengalami Papua yang baru itu. Hal ini tercermin melalui tindakan para pemimpin yang merasa apatis dengan upaya pasar bagi MAPAP. Para pemimpin Papua hanya buat janji kosong saja. MAPAP sudah lama sakit dan menderita dalam bahasa ilmiah yang berujung pada kesia-sia hidup.
Memang kita tetap mengakui, para pemimpin Gereja melalui SKP dan Pemerintah daerah telah membangun tempat penjualan/pasar bagi MAPAP di Terminal Lama Damri Kota Jayapura. Tapi tempat penjualan itu terlalu kecil. Hal demikian kini menjadi pembahasan hangat di kalangan mahasiswa. Dipastikan bahwa dalam waktu dekat para mahasiswa akan buat aksi kepada pemerintah Papua untuk menuntut realisasi dari janji kak Bas dan jajarannya. Karena mereka memang menyadari bahwa tempat pasar itu sangat tidak strategis dan tidak bisa dijangkau oleh para konsumen.
Selain itu, mereka tidak bisa menerima keberadaan mama-mamanya yang diasingkan oleh kebijakan dan penerapan pembangunan pemerintah yang tidak kontekstual di Negeri. Lebih jauh para mahasiswa merasakan bahwa keberadaan MAPAP selalu tidak diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat luhur, mulia dan bebas dalam arti yang mendalam.
Hal senada juga diungkapkan oleh MAPAP sendiri bahwa tempat itu semacam kandang babi. Atau babi pu kandang juga masih baik. Mengapa? Karena memang mereka sendiri mengalami bahwa tempat itu terlalu kecil. Sementara keberadaan MAPAP itu dalam jumlah yang begitu banyak. Apalagi, jika mereka datang dengan anak-anaknya. Pasti mereka bisa pinsang di tempat karena memang sesaknya tempat jualan sampai membuat orang tak bisa bergerak bebas sebagai manusia di tanahnya sendiri.
Akibatnya ada banyak MAPAP yang sampai sekarang masih belum mendapat tempat jualan sayur dan pinang yang layak. Mereka kehilangan tempat jualan sebagaimana mestinya. Sementara pihak lain masih menari-nari di atas sejuta derita MAPAP ini. Jika kita membaca situasi kota Jayapura dan Sentani maka jalan raya menjadi solusi yang tepat bagi MAPAP untuk menjual hasil kebunnya. Tempat-tempat umum digunakan mereka secara terpakasa sebagai jalan satu-satunya untuk menjual hasil kebunnya.
Sepanjang jalan raya Jayapura-Sentani, di depan pertokoan dan setiap terminal buss menjadi tempat penjualan sayur-pinang yang layak bagi mereka. Terik matahari, haus, lapar menjadi teman setia bagi mereka dalam menjalani misinya. Sekalipun demikian, hasil jualannya juga tidak seberapa. Bahkan hasil kebun mereka sering dibawa pulang ke rumah karena tidak dibeli oleh konsumen. Dimanakah kepekaan para pemimpin sebagai anak-anaknya mereka?
Hal demikian melahirkan derita yang semakin membara bagi mereka. Mereka selalu mengalami kesulitan dalam membangun kehidupan keluarga mandiri dan bertanggung jawab. Ada banyak anak-anak mereka yang hanya sekolah sampai SD. Bahkan ada banyak pula yang belum mendapat pendidikan sekolah Dasar (SD). Apalagi pendidikan SMP, SMU dan selanjutnya hanyalah menjadi sebuah mimpi di siang bolong bagi mereka. Mengapa? Karena memang mereka tidak punya uang cukup untuk memperhatikan pendidikan anaknya sendiri. Lalu bagaimana dengan kehidupan ekonomi pasar bagi para pedagang asli Papua (MAPAP) yang sudah mendapat tempat pasar yang sudah dibangun oleh Pemerintah Papua di Terminal Damri yang lama?
Kehidupan ekonomi pasar bagi para MAPAP yang telah mendapat tempat pamasaran juga memiliki masalah yang sama. Hampir semua MAPAP selalu mengeluh dengan tempat pasar yang sudah dibangun Pemerintah Papua di Terminal Damri Jayapura Kota. Mereka salalu mengeluh karena selain tempatnya yang sangat kecil, tata ruasnya juga tidak memungkinkan mereka untuk menjual hasil kebunnya. Mereka seringkali bilang bahwa tempatnya terlalu terpuruk, tidak ada meja jualan satupun, dan tidak laku barang jualannya. Hal ini terjadi karena jarang dijumpai oleh para pembeli. Pembeli memang ada banyak yang mau membeli barang dagangan MAPAP tetapi mereka selalu dihalangi oleh Polisi lalu lintas jalan. Kita semua tahu bahwa ketika pasar MAPAP dibangun, maka Polisi pun telah membuat garis lalu litas pas di depan pintu pasar mereka. Sehingga para pembeli memang tidak bisa turun dan tak sempat mengunjunginya. Mereka hanya begitu lewat saja dengan taksi.
Ada sejumlah pembeli dan aktifis juga seringkali mengatakan hal senada kepada MAPAP, ketika mereka belanja di pasar itu. Mereka sebenarnya selalu mau belanja di pasar MAPAP, tetapi ketika mereka sampai di pintu pasar tidak bisa turun. Karena ada pos penjagaan lalu lintas. Para polisi biasa melarang jika ada penumpang berani turun ke pasar MAPAP. Sehingga mereka terpaksa tidak turun untuk membelinya. Para konsumen hanya lebih ramai membeli barang dagangan dari non Papua seperti di terminal Mesran. Pemerintah malahan menyibukkan dan disibukkan diri pribadi dan mendatangkan para investor dan pembisnis yang berskala nasional dan internasional dari luar negeri daripada memperhatikan usaha-usaha dan potensi-potensi lokal yang dimiliki rakyat Papua. Lebih para lagi, para pemimpin punya langganan tetap untuk membeli sayur dari orang non Papua. Sementara MAPAP sangat mengharapkan perhatian dari kak Bas dan jajarannya.
Dengan melihat kenyataan hidup konkret MAPAP yang demikian, pemerintah mau memperlihatkan dirinya bahwa tindakan pembunuhan secara halus terhadap usaha-usaha lokal MAPAP kini masih terus berjalan. Pemerintah dan Gereja tidak punya niat dan komitmen yang baik untuk memandirikan diri, rakyat dan dunianya sebagaimana mestinya. Kemandrian rakyat Papua semakin mandeg dan terpukul jauh bila dibandingkan dengan kehidupan orang non Papua. Orang non Papua jauh lebih berkembang dan mandiri daripada MAPAP yang notabenenya adalah ahli waris atas Negeri ini. Lalu di manakah Papua baru yang diemban itu bagi rakyat asli Papua? Papua baru tidak akan tercipta jika pemerintah dan Gereja tidak punya niat dan berkomitmen dalam memberdayakan ekonomi rakyat asli Papua. Kalau begitu, nasib rakyat asli Papua ini sama saja sia-sia belaka. Stop kitong baku tipu sudah. Karena ktong bukan orang tak berbudaya.
Dalam situasi umat Allah yang demikian, dibutuhkan pelayanan pemerintah sekontekstual mungkin. Pelayanan yang kontekstual itu mesti diberikan kepada semua manusia baik rakyat Papua maupun non Papua. Namun, pelayanan itu pertama-tama harus diberikannya kepada mereka yang lemah, miskin dan tertindas seperti mama-mama pedagang asli Papua (MAPAP). Pelayanan yang mengutamakan kebutuhan masyarakat bukan berarti yang kaya dianaktirikan, melainkan dibuat demi membangun kesejahteraan bersama (bonum comune).
Demi membangun kesejahteraan bersama, para penguasa memberdayakan martabat kaum kecil. Pemberdayaan atas kaum kecil seperti MAPAP mesti dinyatakan oleh setiap kita dengan kasih dan kesetiaan. Itu artinya kak Bas dan jajrannya bersama Gereja jangan buat janji dan bicara kata-kata manis terlalu banyak terhadap rakyatnya sendiri. Sebab siapa pun yang mau bekerja di Papua adalah pribadi-pribadi yang mau diam dan bikin dengan penuh cinta dan kesetiaan saja agar Papua baru dapat dinikmati oleh MAPAP.