Berdasarkan berita rimbaraya.net yang diposting pada tanggal (20 Januari 2015) dengan judul Darwinsyah Akui Degradasi Moral Peserta Didik di BM Semakin Rusak, penulis sangat menyayangkan beberapa pernyataan dalam berita tersebut. Darwinsyah yang notabene seorang anggota legislatif dan menjabat sebagai wakil ketua sementara mengeluarkan pernyataan yang disayangkan sebagai anggota dewan yang terhormat.
Sesuai postingan berita, dalam acara diskusi yang diadakan oleh Usaid Kinerja, Darwinsyah wakil Ketua Sementara DPRK Bener Meriah, (18/1), mengatakan “Redegradasi moral peserta didik semakin rusak, hal ini dikarenakan oleh guru pendidik dicengkram oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, sehingga guru hanya menunaikan kewajiban dan tangung jawab dalam menyampaikan materi mata pelajarannya saja.” Tandas Darwin.
“Guru pendidik dicengkram oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Anak,” ungkapan itu patut dipertanyakan dan harus bertangungjawab. Dimana pernyataan di atas mengesankan, bahwa Darwinsyah telah berasumsi mendidik anak oleh pendidik harus ada unsur hukuman fisik. Bila anak didik bersalah, guru boleh menghukum murid secara fisik sebagai sanksi dan bentuk pembelajaran. Jenis hukuman fisik, dulu sering kita dapati kabar, berlaku di pengajian, di kampung-kampung. Di sekolahan juga sering guru menjewer murid bahkan murid dihukum dengan penggaris kayu dan alat lainnya.
Namun dengan adanya UU perlindungan Anak, banyak murid atau wali murid yang melaporkan guru bila menggunakan kekerasan dalam mendidik. Bila itu yang dimaksud Darwinsyah, maka pernyataan di atas, mengesankan Darwin tidak mendalami UU Perlindungan Anak, dimana seharusnya anggota dewan harus memahami UU. Terlebih Darwinsyah merupakan penyandang gelar sarjana.
Sementara pernyataan Darwinsyah, “Sudah saatnya kita sadari dan menepis anggapan terhadap tanggung jawab pendidikan bukan hanya tangung jawab dinas terkait melainkan tanggung jawab kita semua seluruh elemen masyarakat. Untuk itu mulai sekarang kita harus menanamkan rasa tanggung jawab itu pada diri kita sendiri.” Pernyataan ini memang benar adanya. Oleh sebab itu, DPRK harus konsen terhadap dunia pendidikan bukan hanya fisik saja. Orang tua juga tidak hanya menyerahkan urusan pendidikan ke sekolah tapi tetap dan harus mengawasi perkembangan anak-anak.
Contoh kasus, tahun yang lalu ada oknum DPRK BM yang diduga menyatakan pendidik di daerah tersebut tidak memikirkan mutu siswa dan hanya memikirkan fisik. Akibat pernyataan itu, puluhan guru mendatangi gedung DPRK, bahkan saat anggota dewan bersidang.
Dalam hal ini, DPRK harus menunjukkan keberpihakkannya pada mutu pendidikan melalui anggaran serta pengawasan yang bukan hanya sekedar pernyataan. Untuk pendidikan, diamanahkan 20 persen anggaran, apakah DPRK BM sudah menjalankannya?. Apakah DPRK BM pernah tahu, siswa BM sulit menembus perguruan tinggi negeri padahal kelulusan di SMA setempat sangat memuaskan? DPRK tidak boleh hanya membuat pansus untuk fisik saja.
Pernyataan lain yang disayangkan, disampaikan Marwan salah satu peserta diskusi yang mewakili forum komite sekolah mengatakan, “Akibat Undang-undang Perlindungan Anak tersebut, moral peserta didik di daerah kita ini juga semakin rusak, karena guru di sekolah tidak berani untuk mendidik terlalu keras, dan akibat Undang-Undang tersebut tingkah laku pelajar sekarang semakin tidak terbendung lagi.”
Dari paragraph di atas, lagi-lagi ada kesan orang yang menginginkan pendidikan itu harus dengan kekerasan fisik. Kalau ada orang yang sepakat hal demikian seharusnya bisa membeberkan fakta bahwa anak yang dididik dengan kekerasan fisik akan menjadi orang berhasil. Bagaimana juga dengan anak yang didik dengan perhatian orang tua, dukungan semua pihak.
Hemat penulis, dalam Kurikulum 2013, sudah disusun sedemikian rupa agar pendidikan juga mengarah pada pendidikan moral, sehingga system penilaian sangat berbeda dengan KTSP. Cobalah kita mendalami hal itu, sehingga kekurangan yang ada bisa lebih ditingkatkan, bukan hanya menyalahkan UU karena ketidakmampuan kita.
Harapan penulis, DPRK bisa mengawasi anggaran pendidikan agar tidak sekedar fisik tapi mutu guru, mutu siswa, dan mutu pendidikan. Komite sekolah bukan menunggu surat dari sekolah baru berperan aktif tapi harus proaktif . Orang tua tidak menyerahkan seluruhnya pendidikan anak ke lembaga pendidikan, tapi mari luangkan waktu sedikit untuk mengawasi perkembangan anak, minimal anak sendiri. Moral anak bukan faktor UU, tapi ada faktor individu, keluarga, lingkungan maupun media dan faktor kebijakan yang harus “dimainkan” oleh seluruh stakeholder pendidikan.
Tanggapan atas pernyataan Darwinsyah, Wakil Ketua Sementara DPRK Bener Meriah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H