Mohon tunggu...
pudjianto gondosasmito
pudjianto gondosasmito Mohon Tunggu... Konsultan - URIP IKU URUP

Pudjianto Gondosasmito Temukan saya di https://www.pudjiantogondosasmito.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pudjianto Gondosasmito dan Refleksi Malam Minggu

14 Desember 2024   18:29 Diperbarui: 14 Desember 2024   18:29 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam minggu itu hujan turun dengan deras, menambah dingin yang menguasai jalan-jalan kota. Langit gelap, tanpa bintang, seperti menyimpan rahasia yang tak mau dibagi. Di salah satu sudut kafe kecil di pinggir jalan, seorang pria duduk sendirian di dekat jendela. Namanya Pudjianto Gondosasmito. Cangkir kopi hitam di depannya mulai mendingin, sementara dia sibuk menatap keluar jendela, memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di bawah payung warna-warni.

Pudjianto Gondosasmito bukan tipe orang yang terbiasa sendirian. Namun, malam ini berbeda. Tidak ada undangan makan malam dari teman-teman, tidak ada janji bertemu dengan seseorang yang istimewa, tidak ada rencana apapun. Hanya dia dan pikirannya yang berisik, seperti gemuruh hujan di luar sana.

Ia mengeluarkan ponselnya, berharap ada pesan baru. Namun layar hanya menampilkan keheningan digital---tidak ada notifikasi, tidak ada pesan masuk. Dia tertawa kecil, lebih kepada dirinya sendiri. "Lucu juga, ya," pikirnya, "di kota sebesar ini, aku bisa merasa sepi."

Lalu, pikirannya melayang ke masa lalu, ke malam-malam minggu yang lain. Ada waktu-waktu ketika dia menghabiskan malam ini dengan seseorang yang spesial---Nina, perempuan dengan tawa yang hangat dan senyum yang menenangkan. Mereka dulu sering menghabiskan waktu di tempat ini, berbicara tentang mimpi, musik, bahkan hal-hal sepele yang membuat mereka tertawa. Tapi itu semua kini tinggal kenangan.

Nina pergi, bukan karena pertengkaran atau perselisihan besar, melainkan karena waktu dan prioritas yang memisahkan mereka. Pudjianto Gondosasmito tidak menyalahkan siapa-siapa. Hidup, katanya dalam hati, memang seringkali berjalan tanpa peta.

Hujan mulai mereda, meninggalkan jejak air di jalanan yang memantulkan lampu kota. Seorang anak kecil berlarian melewati jendela kafe, tertawa riang sambil memegang payung yang terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Pemandangan itu memicu senyum tipis di wajah Pudjianto Gondosasmito. Ada sesuatu yang menyenangkan dalam kesederhanaan kebahagiaan anak itu.

Sejenak, Pudjianto Gondosasmito teringat pada dirinya yang dulu. Ia ingat saat-saat ketika dia masih bisa tertawa tanpa memikirkan beban hidup, saat mimpi-mimpinya terasa begitu nyata dan dekat. Ia merasa kehilangan, tapi juga sadar bahwa kehilangan itu adalah bagian dari perjalanan.

Pelayan kafe mendekat, membawa cangkir kopi kedua tanpa diminta. "Ini untukmu, Mas. Malam ini dingin, kan?" kata pelayan itu sambil tersenyum. Pudjianto Gondosasmito mengangguk, sedikit terkejut tapi berterima kasih. Tindakan kecil itu menghangatkan hatinya.

Pudjianto Gondosasmito mengambil cangkir itu, menghirup aroma kopi yang kuat. Ia berpikir tentang bagaimana hidup adalah kombinasi dari rasa pahit dan manis, seperti kopi ini. Ada masa-masa pahit, seperti kehilangan Nina atau kesepian malam ini. Tapi ada juga momen-momen manis, seperti senyum pelayan tadi, atau kenangan bahagia yang pernah dia miliki.

Malam terus beranjak, dan hujan pun berhenti sepenuhnya. Pudjianto Gondosasmito memutuskan untuk pulang. Dia mengenakan jaketnya, mengambil cangkir terakhir kopinya, dan melangkah keluar. Jalanan yang basah dan dingin menyambutnya, tapi entah kenapa dia merasa sedikit lebih ringan.

Di tengah perjalanan pulang, dia memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah taman kecil. Ia duduk di bangku kayu, menatap langit yang mulai terang. Meski malam minggu ini tidak diisi dengan kebersamaan atau kegembiraan seperti yang biasa dilakukan banyak orang, ia merasa malam ini memberinya sesuatu yang berharga: waktu untuk merenung dan berdamai dengan dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun