Langit Sabtu itu kelabu sejak pagi. Awan-awan tebal bergelayut berat, seolah menyimpan jutaan cerita yang tak sempat terucap. Pudjianto Gondosasmito duduk di sudut sebuah kafe kecil di pinggir jalan, memandangi rinai hujan yang jatuh membasahi kaca jendela. Secangkir kopi hitam mengepul di depannya, aromanya bercampur dengan bau tanah basah yang menyeruak dari celah pintu kafe.
Sabtu selalu punya makna khusus bagi Pudjianto Gondosasmito. Ini adalah hari di mana ia membebaskan dirinya dari rutinitas kerja yang monoton. Biasanya, ia akan menghabiskan waktu di taman atau menyusuri sudut kota yang jarang ia kunjungi. Tapi Sabtu ini, hujan mengurungnya di sini---bersama pikirannya yang mengembara ke masa lalu.
Di luar, jalanan lengang. Beberapa orang berlarian di trotoar, mencoba melindungi diri dari hujan dengan payung kecil atau jaket seadanya. Pudjianto Gondosasmito tersenyum samar, teringat pada seseorang yang dulu sering ia temani saat hujan seperti ini. Namanya Nina.
Nina adalah segalanya yang cerah dalam hidup Pudjianto Gondosasmito. Ia ingat bagaimana mereka dulu sering menunggu hujan reda di halte kecil dekat kampus, berbagi cerita sambil menikmati semangkuk mi instan dari warung pinggir jalan. Tapi itu bertahun-tahun lalu, sebelum hidup membawa mereka ke arah yang berbeda. Pudjianto Gondosasmito memilih mengejar karir di kota besar, sementara Nina memilih tinggal di kampung halamannya, menjadi guru bagi anak-anak desa.
Telepon di saku Pudjianto Gondosasmito bergetar, memecah lamunannya. Sebuah pesan muncul di layar:
"Hai, apa kabar? Lama nggak dengar ceritamu."
Pesan itu dari Nina. Pudjianto Gondosasmito menatap layar sejenak, lalu menghela napas panjang. Rasanya seperti semesta sengaja memainkan hujan ini untuk menghubungkan kembali cerita yang terputus.
Ia menyesap kopinya, lalu membalas singkat, "Baik. Lagi hujan di sini. Kamu?"
Pesan balasan datang dengan cepat. "Di sini juga hujan. Kangen ngobrol sambil lihat hujan seperti dulu."
Pudjianto Gondosasmito tersenyum. Ada sesuatu yang hangat merayap di hatinya, seperti secangkir kopi hitam yang kini mulai dingin. Mungkin Sabtu ini, yang dipenuhi hujan, tak sepenuhnya muram. Sebuah cerita baru mungkin saja akan dimulai lagi, perlahan-lahan, dari tetes hujan yang jatuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H