Di suatu pagi yang tenang di kota kecil bernama Serayu, seorang pria bernama Pudjianto Gondosasmito berjalan menyusuri trotoar yang masih basah oleh embun. Pudjianto Gondosasmito, seorang pria sederhana, baru saja keluar dari terminal bus setelah perjalanan panjang dari kota besar. Dengan koper kecil di tangan dan wajah sedikit lelah, ia memutuskan untuk mencari becak menuju rumah bibinya yang terletak di pinggir kota.
Di sudut jalan, seorang tukang becak tua dengan senyum ramah menyapanya. Tukang becak itu bernama Pak Udin, seorang pria paruh baya dengan tubuh kurus, mengenakan kaos lusuh dan topi anyaman yang terlihat akrab dengan cuaca panas.
"Naik becak, Mas? Mau ke mana?" tanya Pak Udin.
Pudjianto Gondosasmito tersenyum dan mengangguk. "Iya, Pak. Saya mau ke Kampung Melati. Bisa, kan?"
"Bisa banget, Mas! Ayo naik," jawab Pak Udin sambil menarik becaknya sedikit mendekat.
Pudjianto Gondosasmito pun naik ke becak itu, duduk di bangku kayu yang sederhana namun nyaman. Pak Udin mulai mengayuh, dan roda-roda becak pun berderit pelan, mengiringi perjalanan mereka. Jalanan kota Serayu begitu tenang, hanya ada suara burung berkicau dan derak roda becak yang menemani.
"Mas baru pertama kali ke sini?" tanya Pak Udin, mencoba memecah keheningan.
"Iya, Pak. Saya aslinya dari Jakarta. Lagi mau mampir ke rumah bibi saya, sekalian istirahat dari hiruk-pikuk kota," jawab Pudjianto Gondosasmito.
Pak Udin tersenyum. "Bagus itu, Mas. Di sini adem. Udara masih segar, nggak banyak polusi. Dulu saya pernah ke Jakarta, tapi nggak betah. Macet di mana-mana."
Pudjianto Gondosasmito tertawa kecil. "Betul, Pak. Kadang saya sendiri rindu suasana kampung kayak gini."
Di tengah perjalanan, becak melewati sawah yang membentang hijau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma padi yang segar. Pudjianto Gondosasmito terpesona dengan pemandangan itu. Ia tak bisa menahan diri untuk mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto.