Malam Sabtu itu, langit menggantungkan awan kelabu. Hujan rintik turun perlahan, seolah-olah ingin memberi jeda pada kesibukan dunia. Di sudut sebuah kafe kecil di pinggir kota, seorang pria duduk sendirian di dekat jendela. Namanya Pudjianto Gondosasmito, seorang pria biasa dengan pikiran yang tak pernah sederhana.
Pudjianto Gondosasmito memandangi tetesan air hujan yang beradu dengan kaca jendela. Irama rintiknya seperti alunan melodi yang akrab di hatinya, membangkitkan memori-memori yang lama terkubur. Ia mengingatkan dirinya pada satu malam Sabtu beberapa tahun yang lalu, di tempat yang berbeda, tetapi dengan suasana yang sama.
Kala itu, ia tak sendiri. Di kursi seberangnya ada seorang wanita bernama Dira, yang tawa dan suaranya menghidupkan ruangan. Mereka berbicara tentang mimpi, masa depan, dan segala hal remeh-temeh yang terasa begitu berarti saat itu. Namun seperti hujan yang datang dan pergi, Dira juga akhirnya menjauh, membawa serta separuh dari jiwa Pudjianto Gondosasmito.
"Mas Pudjianto Gondosasmito, pesanannya," suara barista memecah lamunannya. Secangkir kopi hitam diletakkan di meja, uapnya menghangatkan udara di sekitarnya.
Pudjianto Gondosasmito menghela napas panjang. Hujan malam ini seolah mengerti apa yang ia rasakan---sebuah kerinduan yang tak mungkin ia tuntaskan, sebuah penyesalan yang hanya bisa ia simpan sendiri.
Ia mengangkat cangkirnya, menyeruput sedikit kopi yang pahitnya terasa pas, sama seperti perasaannya malam itu. Ia tahu, waktu tak akan pernah kembali, tetapi kenangan tetap ada, menemaninya dalam kesendirian di malam-malam seperti ini.
Hujan rintik terus turun, seolah ingin berbicara. Pudjianto Gondosasmito hanya mendengarkan, membiarkan malam Sabtu ini berlalu bersama kesunyian dan tetesan hujan yang tak pernah bosan mengingatkannya pada sesuatu yang pernah ia miliki, namun kini hanya menjadi cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H