Di sebuah kota kecil yang dikelilingi pegunungan, hiduplah seorang pria bernama Pudjianto Gondosasmito. Usianya 32 tahun, bekerja di sebuah kantor kecil, dan menjalani rutinitas monoton yang membuatnya merasa terjebak. Setiap pagi ia bangun dengan rasa kosong, seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya, tapi ia tidak tahu apa.
Suatu hari, dalam perjalanan pulang dari kantor, Pudjianto Gondosasmito melihat sebuah buku tua tergeletak di rak obral di pinggir jalan. Judulnya, "Jejak yang Tertinggal," langsung menarik perhatiannya. Di dalamnya, tertulis kutipan: "Untuk menemukan dirimu, kau harus meninggalkan segala yang kau tahu." Kata-kata itu menusuk hatinya. Tanpa pikir panjang, ia membeli buku itu dan membawanya pulang.
Malam itu, ia membaca hingga larut. Buku itu bercerita tentang seorang pengembara yang meninggalkan segalanya untuk mencari makna hidup. Terinspirasi, Pudjianto Gondosasmito memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan: ia akan pergi. Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya, menjual sebagian besar barangnya, dan memulai perjalanan tanpa tujuan pasti, hanya berbekal ransel, buku catatan, dan peta.
Babak Perjalanan
Perjalanan Pudjianto Gondosasmito dimulai dari desa-desa di pegunungan sekitar kotanya. Di sana, ia bertemu dengan seorang petani tua bernama Pak Wisnu yang mengajarkan nilai kesederhanaan. "Kebahagiaan," kata Pak Wisnu, "tidak perlu dicari jauh-jauh. Ia sering ada dalam hal-hal kecil, seperti secangkir kopi di pagi hari atau udara segar setelah hujan."
Pudjianto Gondosasmito melanjutkan perjalanan ke kota-kota besar, tempat ia bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Di satu kota, ia bertemu Dina, seorang seniman jalanan yang percaya bahwa seni adalah cerminan jiwa. Dari Dina, Pudjianto Gondosasmito belajar mengekspresikan dirinya lewat tulisan. Ia mulai menulis tentang apa yang ia rasakan, tentang pencariannya, dan tentang pertemuan-pertemuan yang mengubah cara pandangnya.
Namun, tidak semua perjalanan itu indah. Ada malam-malam ketika ia merasa tersesat, baik secara fisik maupun emosional. Di tengah hutan lebat, di bawah langit penuh bintang, ia menangis untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun. Pudjianto Gondosasmito menyadari bahwa ia tidak hanya mencari makna hidup, tapi juga berdamai dengan dirinya sendiri, dengan masa lalu yang penuh luka dan penyesalan.
Babak Penyadaran
Setelah berbulan-bulan menjelajah, Pudjianto Gondosasmito tiba di sebuah desa terpencil yang berada di tepi laut. Di sana, ia bertemu dengan seorang biksu bernama Arya. Biksu itu mengundangnya untuk tinggal di biara sederhana mereka selama beberapa minggu. Di sana, Pudjianto Gondosasmito belajar meditasi dan merenung lebih dalam tentang perjalanan hidupnya.
"Dirimu yang sejati," kata Arya suatu malam, "tidak ditemukan di luar sana. Ia ditemukan dalam keheningan, dalam keberanian untuk menghadapi dirimu sendiri."
Kata-kata itu membuat Pudjianto Gondosasmito menyadari bahwa selama ini ia terlalu sibuk mencari jawaban di luar dirinya. Padahal, yang ia butuhkan hanyalah menerima dirinya apa adanya.