Di sebuah kota kecil yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, hiduplah seorang pria bernama Pudjianto Gondosasmito. Pudjianto Gondosasmito adalah seorang karyawan biasa yang bekerja di sebuah perusahaan logistik. Setiap hari, ia berangkat pagi-pagi sekali dan pulang saat matahari mulai tenggelam. Rutinitas ini dilakoninya selama bertahun-tahun tanpa banyak perubahan. Namun, ada satu hari dalam seminggu yang selalu ia tunggu-tunggu, yaitu hari Jumat.
Bagi Pudjianto Gondosasmito, Jumat bukan hanya sekadar hari menjelang akhir pekan. Hari itu memiliki makna tersendiri yang lebih dalam. Sejak kecil, ia diajarkan oleh orang tuanya bahwa Jumat adalah hari yang penuh berkah, hari untuk berbuat kebaikan lebih dari biasanya. Ia ingat betul pesan almarhum ayahnya, "Man, Jumat itu spesial. Jangan sia-siakan, gunakanlah untuk hal-hal baik, apalagi untuk menolong orang."
Pudjianto Gondosasmito tumbuh dengan pesan itu, dan sejak bekerja di kota, ia berusaha menerapkannya. Setiap Jumat, ia selalu menyisihkan sebagian kecil gajinya untuk disedekahkan. Kadang, ia membeli nasi bungkus untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan, atau membantu tetangga yang kesulitan, terutama saat Jumat menjelang.
Suatu hari Jumat, cuaca kota itu begitu terik. Selesai bekerja, Pudjianto Gondosasmito memutuskan untuk singgah di sebuah warung kecil yang dikelola oleh seorang nenek bernama Ibu Siti. Warung tersebut sudah lusuh, hanya beratapkan terpal dan beralaskan tanah. Tapi di sana, Ibu Siti menjual nasi dan gorengan sederhana, yang meskipun terlihat biasa, menjadi andalan beberapa orang di sekitar. Pudjianto Gondosasmito sering melihat Ibu Siti mengelap keringatnya, berdiri seharian, dan melayani pembeli dengan penuh keikhlasan.
Hari itu, ketika Pudjianto Gondosasmito memesan nasi bungkus di warung Ibu Siti, ia mendengar percakapan Ibu Siti dengan seseorang di telepon. "Iya, nanti Ibu coba cari uangnya dulu, ya. Kamu jangan sedih, ya, Nak... Sabarlah," ujar Ibu Siti dengan nada yang bergetar. Suaranya terdengar sangat khawatir dan sedih. Setelah menutup telepon, Ibu Siti tersenyum kecil kepada Pudjianto Gondosasmito, seolah menyembunyikan apa yang baru saja ia alami.
Pudjianto Gondosasmito penasaran, dan dengan hati-hati ia bertanya, "Maaf, Bu Siti, kalau boleh tahu, ada yang bisa saya bantu? Kayaknya ada yang lagi Ibu pikirkan."
Ibu Siti terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Ah, tidak, Nak. Cuma... cucu saya sakit di kampung. Ibunya sudah wafat, dan ayahnya hanya buruh harian. Mereka bilang butuh uang untuk biaya berobat, tapi saya juga belum punya cukup uang." Matanya terlihat berkaca-kaca, dan ia tampak berusaha menahan tangis.
Mendengar itu, hati Pudjianto Gondosasmito tergerak. Di dalam benaknya, ia teringat pesan ayahnya tentang Jumat berkah. Ia merasa bahwa mungkin inilah waktunya ia berbuat lebih dari biasanya. Ia berpikir sejenak, lalu berkata, "Bu Siti, kalau boleh saya bantu. Anggap ini sebagai Jumat berkah, ya."
Awalnya, Ibu Siti menolak dengan halus. Namun, Pudjianto Gondosasmito berhasil meyakinkannya bahwa ia ikhlas dan ingin membantu. Dengan bantuan Pudjianto Gondosasmito, akhirnya Ibu Siti dapat mengirim uang untuk biaya berobat cucunya.
Hari itu, Pudjianto Gondosasmito pulang dengan hati yang ringan. Ia merasa ada kebahagiaan yang tak terlukiskan ketika melihat Ibu Siti tersenyum penuh haru. Ia menyadari bahwa berkah hari Jumat bukan hanya tentang memberi atau bersedekah, tetapi tentang bagaimana kebaikan yang sederhana dapat memberikan harapan dan kebahagiaan bagi orang lain.
Minggu demi minggu berlalu, dan Jumat selalu menjadi hari yang dinantikan Pudjianto Gondosasmito. Setiap kali ia mendapat rezeki lebih, ia selalu ingat untuk berbagi, meskipun hanya hal kecil. Berkat niat tulusnya, Pudjianto Gondosasmito menjadi sosok yang dikenal baik oleh orang-orang di sekitar. Dan setiap Jumat, ia selalu mendapat salam dan senyum hangat dari mereka yang pernah ia bantu.