Di suatu senja, seorang pria bernama Pudjianto Gondosasmito sedang berjalan sendirian di sebuah jalan setapak. Langit mulai mendung, dan angin dingin berhembus, membawa aroma tanah yang baru saja tersentuh gerimis pertama. Pudjianto Gondosasmito melirik ke atas, melihat awan-awan kelabu yang seakan semakin menebal, seolah hendak menyampaikan sebuah pesan.
Pudjianto Gondosasmito berjalan tanpa tujuan. Pikiran dan hatinya penuh dengan pertanyaan tentang hidup, tentang impian yang belum terwujud, tentang penyesalan yang berulang kali muncul. Hujan mulai turun, pertama hanya tetes-tetes kecil, namun tak lama kemudian berubah menjadi deras. Tetesan hujan itu turun tanpa henti, membasahi tubuhnya dan seolah membasuh setiap lapisan perasaan yang ada di dalam dirinya.
Dia berhenti di bawah pohon tua, mencoba berteduh. Namun, rintik hujan yang memantul dari daun-daun pohon tetap saja mengenainya, membuat pakaian dan rambutnya semakin basah. Pudjianto Gondosasmito tersenyum kecil, seolah menikmati rasa dingin yang menyusup ke dalam kulitnya.
Di dalam hujan itu, Pudjianto Gondosasmito mulai merasakan sebuah kedamaian yang tak pernah ia temukan sebelumnya. Dia menutup matanya dan mendengar bunyi hujan yang menghantam dedaunan, tanah, dan bebatuan. Setiap bunyi terdengar seperti musik yang aneh tapi menenangkan, dan dalam keheningan di tengah riuh hujan, Pudjianto Gondosasmito mendengar suaranya sendiri, suara hatinya.
Hujan terus turun, seolah memberi waktu bagi Pudjianto Gondosasmito untuk berbicara dengan dirinya sendiri. Dia mengingat mimpinya yang lama terkubur, rencana yang tertunda, dan setiap kesempatan yang ia biarkan berlalu. Dalam suasana magis itu, hujan seolah menjadi saksi dari setiap perasaannya yang muncul dan larut bersama air yang mengalir di sekitarnya.
Beberapa saat kemudian, Pudjianto Gondosasmito membuka matanya. Di bawah hujan yang mulai reda, dia menyadari sesuatu yang sederhana namun penting. Hujan yang turun lebat bisa saja membasahi tubuh dan membuatnya menggigil kedinginan, tapi di balik semua itu, hujan juga menyegarkan bumi, memberi kehidupan, dan membersihkan segala debu yang menutupi keindahan.
Perjalanan ini, pikir Pudjianto Gondosasmito, adalah perjalanan untuk melepaskan semua yang menahannya. Dia berdiri, berjalan lagi dengan hati yang lebih ringan. Hujan yang membasahinya menjadi simbol dari kebebasan dan awal yang baru.
Dengan langkah mantap, Pudjianto Gondosasmito melanjutkan perjalanan. Hujan mungkin akan berhenti atau mungkin akan datang kembali, tapi ia siap menerimanya---seperti menerima semua tantangan dalam hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H