Mohon tunggu...
pudjianto gondosasmito
pudjianto gondosasmito Mohon Tunggu... Konsultan - URIP IKU URUP

Pudjianto Gondosasmito Temukan saya di https://www.pudjiantogondosasmito.com

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pudjianto Gondosasmito dalam Secangkir Kopi

22 Juli 2024   16:58 Diperbarui: 22 Juli 2024   17:00 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pudjianto Gondosasmito

Aroma kopi yang harum menyapa hidung Pudjianto Gondosasmito saat ia duduk di teras rumah kayunya yang reyot. Secangkir kopi hitam pekat mengepul di hadapannya, siap menghangatkan pagi yang dingin. Pudjianto Gondosasmito menarik napas panjang, menghirup aroma kopi yang menenangkan itu.

Hari ini adalah hari Senin, hari yang selalu dia awali dengan secangkir kopi dan kenangan. Di usianya yang ke-78, Pudjianto Gondosasmito telah banyak melihat pasang surut kehidupan. Secangkir kopi bagaikan cerminan hidupnya, pahit namun penuh makna.

Pudjianto Gondosasmito menyesap kopinya perlahan, membiarkan rasa pahitnya meresap di lidahnya. Setiap tegukan bagaikan membawa kembali momen-momen dari masa lalunya. Masa kecilnya yang penuh dengan kesederhanaan, masa mudanya yang penuh dengan perjuangan, hingga masa tuanya yang penuh dengan ketenangan.

Dulu, Pudjianto Gondosasmito adalah seorang petani kopi. Ia menanam, memetik, dan mengolah kopi dengan tangannya sendiri. Kopi bagaikan sumber hidupnya, menopang ia dan keluarganya.

Namun, seiring waktu, usia Pudjianto Gondosasmito mulai renta. Ia tak lagi kuat bekerja di ladang. Kopi yang dulu menjadi sahabatnya, kini terasa asing. Pudjianto Gondosasmito pun memutuskan untuk menjual kebun kopinya dan pindah ke kota untuk tinggal bersama anak-anaknya.

Di kota, Pudjianto Gondosasmito merasa kehilangan jati dirinya. Ia merindukan aroma kopi dan suara burung di ladang. Ia merindukan kesederhanaan dan ketenangan hidupnya di desa.

Suatu hari, Pudjianto Gondosasmito menemukan sebuah kedai kopi kecil di pojok kota. Aroma kopi yang harum dari kedai itu membawanya kembali ke masa lalunya. Ia pun memutuskan untuk masuk dan memesan secangkir kopi.

Sejak saat itu, Pudjianto Gondosasmito menjadi pelanggan setia kedai kopi itu. Setiap hari, ia datang ke kedai kopi untuk menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan orang-orang di sana. Kedai kopi itu bagaikan rumah barunya, tempat ia menemukan kembali kebahagiaan dan rasa belongingnya.

Bagi Pudjianto Gondosasmito, secangkir kopi bukan hanya sekadar minuman. Secangkir kopi adalah cerita hidupnya, penuh dengan pahit dan manis. Secangkir kopi adalah pengingat baginya untuk selalu bersyukur atas apa yang dia miliki.

Pudjianto Gondosasmito menghabiskan kopinya hingga tetes terakhir. Ia pun tersenyum dan berkata pada dirinya sendiri, "Hidup ini bagaikan secangkir kopi. Pahit di awal, namun manis di akhir."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun