Belenggu mental jongos
Tulisan saya kali ini diawali dengan ilustrasi foto adegan pertunjukan kesenian tradisional Ludruk. Foto tersebut saya unduh dari tulisan Henri Nurcahyo berjudul "Ludruk yang (tidak) Membosankan".
Dari tiga orang yang terlibat dalam adegan di panggung ludruk tersebut, seorang diantaranya berperan sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Seorang perempuan yang duduk di lantai bertumpu pada lututnya dengan kain serbet di bahunya, itulah yang berperan sebagai PRT.
Panggung ludruk pada masa remaja saya di Surabaya, sering menampilkan adegan interaksi antara tuan atau nyonya majikan dengan pembantu rumah tangga, pelayan, bedinde atau babu dan jongos atau kacung.
Peran pembantu rumah tangga juga sering ditampilkan oleh grup drama komedi Srimulat di televisi. Freddy Aris adalah pemeran Gepeng, tokoh jongos dalam grup Srimulat yang populer dengan ucapannya "Untung ada saya."
Kosa kata babu dan jongos yang sudah ada sejak jaman kolonial tersebut kini hampir tidak pernah digunakan lagi. Kata jongos dan babu kemudian diganti "Bibi", "Mbak", Pembantu Rumah Tangga dan Asisten Rumah Tangga (ART).
Sebagai pengakuan atas bentuk upaya mencari nafkah yang secara formal terlindungi hak-haknya, maka kini para aktifis pekerja migran menganjurkan agar digunakan istilah Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal ini untuk menghapus makna negatif yang tersemat pada kata pembantu dan mendorong pemerintah mengakui sebagai jenis pekerjaan.<2> .
Nasip jongos dan buruh perkebunan di jaman kolonial menjadi materi naskah pembelaan Soekarno ketika diadili di Bandung pada tahun 1930. Sejarah mencatat bahwa jongos bukan hanya menggambarkan status sosial individu, namun juga martabat suatu bangsa. Sebuah istilah yang menurut Soekarno menempatkan Indonesia terpuruk dalam status yang subordinat di mata bangsa lain.Â
Presiden Soekarno juga menyinggung soal jongos dalam pidatonya saat meresmikan berdirinya Institut Angkatan Laut (IAL, kini Akademi Angkatan Laut-AAL) pada 10 Oktober 1951. Saat itu Presiden Soekarno menyatakan : . ".......Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya,...bangsa pelaut dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi JONGOS-JONGOS di KAPAL, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai ARMADA MILITER, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri...."Â (Info Historia, 2018 : 65)<3>
Pidato Presiden Soekarno seakan menyingkap masa lalu adanya jongos-jongos yang mengabdi dalam rumah tangga keluarga Belanda, pelayan kantor-kantor pemerintah dan perusahaan kolonial serta buruh perkebunan yang tetap melarat, sementara ekspor perkebunan membuat kolonialis kaya raya.Â
Harapan yang disampaikan kepada para kadet IAL merupakan pengulangan narasi yang disusunnya dalam Indonesia Menggugat, sebagai pembelaan dalam sidang pengadilan di Bandung pada tahun 1930.Â