"Dunia dalam satu meja" ibarat mata uang logam dengan dua sisi berbeda. Kelahiran aliansi AUKUS menjadi bukti, ketika dalam satu forum negara kawasan bersepakat dalam "satu meja" merancang bangunan kesejahteraan dan meningkatkan keamanan, ada negara dalam forum yang sama segera "satu meja" berunding mengatasi potensi ancaman.
Meja makan dan meja perundingan
Air mata ibu menitik jatuh ke dalam gelas berisi air putih. Hanya segelas air yang bisa diberikan seorang ibu ketika anaknya merintih "Bu, aku lapar." Edward Y. Horas mengungkapkan hal itu pada puisinya "Pada suatu meja." Puisi yang menurut penulisnya menggambarkan kepapaan.
Meja juga menjadi saksi atas bangkrutnya suatu negeri akibat krisis ekonomi. Foto dokumentasi yang kemudian terkenal terkait hal itu adalah saat Presiden Soeharto menandatangani naskah Letter of Intent (LoI) sebagai persetujuan menerima bantuan dari IMF dengan segala syaratnya yang ternyata semakin memberatkan Indonesia. Dalam foto tampak Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus berdiri sambil bersedekap menyaksikan Soeharto menandatangani naskah LoI di atas meja.
Selain soal kemiskinan keluarga, peningkatan jumlah penderita malnutrisi dan bangkrutnya ekonomi negara, meja juga menjadi saksi perjuangan melawan kolonial. Kemerdekaan bangsa ternyata bukan hanya cukup dengan pernyataan proklamasi, tetapi juga membutuhkan pengakuan. Sejarah mencatat selain dengan perjuangan bersenjata, status kemerdekaan Indonesia juga diraih melalui upaya diplomasi dari satu meja ke meja perundingan.
Perundingan tiga pihak, Belanda, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) dan Indonesia dari 23 Agustus sampai 25 November 1949 dilaksanakan Den Haag.
Hasil perundingan adalah pemerintah Kerajaan Belanda mengakui status Kemerdekaan Indonesia sebagai negara berdaulat berbentuk Republik Indonesia Serikat. Proses perundingan Belanda, BFO dan Indonesia dikenal sebagai Konferensi Meja Bundar (KMB).
Sebelum KMB telah dilaksanakan tiga pertemuan tingkat tinggi, yaitu perundingan Linggajati, perundingan Renville dan perundingan Roem Roijen. Namun hanya KMB yang menggunakan meja sebagai nama perundingan antara Belanda dan Indonesia.
Meja juga memberi pengalaman berharga bagi Inosensius I. Sigaze ketika mengamati ruang makan. Di ruang makan salah satu Universitas di Jerman tampak wajah-wajah berbeda, oleh karena mahasiswa dari berbagai negara ada di sana. Para mahasiswa itu berbeda warna kulit dan keyakinan.
Inosensius I. Sigaze menyatakan situasi tersebut sebagai "Dunia dalam satu meja" (Die Welt an einem Tisch). Ungkapan ini dikutip kompasianer Inosensius I. Sigaze dari sepotong kertas yang ditemukannya di bawah pohon.
Maka, meja makan telah menjadi simbol kebersamaan. Situasi di meja makan tersebut terbentuk karena orang-orang di sekitarnya mengerti apa artinya perbedaan dan keberagaman.