Timbunan sampah di pinggir jalan provinsi
Rintik hujan mulai jatuh saat saya menuangkan tanah terakhir untuk dicampur dengan kompos yang baru dikeluarkan dari komposter, sedikit bau khas fermentasi tercium tapi bukan bau busuk sampah yang menggangu.Â
Berbeda sekali dengan bau busuk menyengat dari tumpukan sampah liar di pinggir jalan raya provinsi  antara wilayah kecamatan Taman-Krian, bagian dari ruas jalan Surabaya Mojokerto.Â
Meskipun sudah berkali-kali dibersihkan, namun di tempat sama tak lama kemudian sampah yang didominasi limbah domestik kembali menggunung. Tumpukan sampah liar itu ada di berbagai tempat, yang bukan hanya menebarkan polusi udara, namun juga merusak keindahan lingkungan.
Hujan sore ini memastikan kemarau telah berakhir, meskipun intensitasnya masih rendah, namun cukup membuat suhu lingkungan lebih nyaman.Â
Segarnya udara sore itu bertolak belakang dengan ingatan saya tentang pembuangan sampah liar di pinggir jalan raya. Musim hujan pasti akan memperparah situasi, bau bertambah, dan tebaran sampah meluas terbawa aliran air hujan.Â
Semua itu terkait rendahnya kesadaran kesehatan lingkungan, meningkatnya jumlah penduduk dan pembukaan area perumahan baru yang dikuti dengan peningkatan volume sampah.Â
Ditambah belum optimalnya pemerintah daerah melaksanakan pengelolaan sampah, hal ini merupakan kelindan persoalan di balik munculnya timbunan sampah liar di pinggir jalan provinsi bila saya pergi ke maupun kembali dari Surabaya.
Timbulnya lokasi pembuangan sampah liar di pinggir jalan raya, tak pelak menambah dosa sampah sebagai biang musibah, padahal bila dikelola sampah akan  menjadi berkah dan itu bisa dimulai dari rumah.Â
Setiap individu dapat terlibat dalam pengelolaan sampah di rumah masing-masing. Tindakan pemilahan sampah organik dan sampah nonorganik merupakan langkah awal yang bijak. Limbah sayur, kulit buah, bumbu dapur kadaluarsa, dan sisa makanan termasuk nasi, minus tulang, Â bisa diolah menjadi kompos di setiap rumah keluarga. Â