Pemerataan pelayanan Kesehatan.
Hidup di Indonesia yang mendapat sebutan Negeri Plaza Bencana, membuat kita terbiasa mengalami berulangnya berbagai jenis bencana dengan salah satu dampaknya yaitu timbulnya korban luka dan korban jiwa yang masif jumlahnya. Hal ini menimbulkan kesedihan bagi masyarakat setanah air. Namun dengan cepat kita segera kembali kepada rutinitas, seakan segera lupa kejadian yang memilukan dan lupa melakukan upaya mitigasi bencana.
Masyarakat juga mudah empati terhadap suatu musibah transportasi yang menyebabkan korban dalam jumlah besar. Peristiwa dramatis tenggelamnya kapal motor atau jatuhnya pesawat terbang mengundang perhatian karena selain faktor besarnya jumlah korban, juga adanya kompleksitas proses  SAR serta kegiatan investigasi maupun politisasi kasus.
Sekarang mari kita bandingkan sikap kita menghadapi bencana dengan persoalan derajat kesehatan wanita. Jujur saja, pernahkah kita prihatin dan berpikir serius tentang masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yang pada tahun 2015 mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup <1>. AKI meskipun merupakan parameter pembangunan kesehatan, tetapi luput dari perhatian masyarakat dan dianggap biasa karena mungkin terkait budaya serta keyakinan bahwa hal tersebut adalah resiko dan takdir ibu hamil atau ibu melahirkan.
Sikap memandang sepele kesehatan perempuan, untuk tidak disebut abai, pernah penulis alami saat merencanakan bakti sosial pemeriksaan papsmear dan IVA untuk skrining penyakit kanker leher rahim (kanker serviks) dengan adanya komentar "ah papsmear lagi, IVA lagi". Pernyataan tersebut merupakan gambaran resistensi dan menganggap sebagai hal yang tidak penting. Padahal di luar takdir dan peran domestiknya, terdapat hak perempuan untuk mendapatkan keadilan, peran sentralnya dalam pembangunan kesehatan maupun nilai ekonomi efisiensi bila wanita aktif terlibat dalam program pelayanan kesehatan di tengah masyarakat.
Upaya pemerintah melaksanakan pemerataan pelayanan kesehatan diwujudkan dengan program menuju tercapainya kondisi Universal Health Coverage (UHC) pada tahun 2019. UHC merupakan kondisi di mana seluruh warga negara dalam upayanya memperoleh akses pelayanan kesehatan, telah terjamin melalui keikutsertaannya sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS-Kesehatan (BPJS-K). Dari aspek keadilan, JKN telah memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat termasuk perempuan untuk mendapatkan kesejahteraan peningkatan derajat kesehatan.
Bila ditelisik, 25% anggaran BPJS-K untuk membeayai penyakit katastropik, yaitu penyakit yang tergolong pengobatannya berbiaya tinggi, jumlahnya banyak dan beresiko tinggi <2>. Kanker termasuk didalamnya kanker serviks  dan kanker payudara tergolong sebagai penyakit katastropik. Tentu saja kita semua sependapat akan lebih banyak perempuan dapat diselamatkan dari keganasan penyakit tersebut dan efisiensi beaya kuratif bisa dialihkan untuk peningkatan kapasitas pembangunan kesehatan lainnya, bila kita bersama serius melakukan upaya kesehatan preventif mendukung terwujudnya kesejahteraan keluarga.
Kegiatan skrining penyakit yang menghantui para perempuan yaitu kanker serviks dan kanker payudara merupakan bagian dari upaya kesehatan preventif. Kegiatan ini dapat dilaksanakan mandiri oleh individu maupun oleh fasilitas kesehatan dipadukan dengan berbagai program kesehatan lainnya. Di lingkungan TNI papsmear dan pemeriksaan skrining  kanker payudara oleh tenaga medis (sadanis) bagi anggota militer dan PNS wanita dilaksanakan sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan berkala.
Data menunjukkan bahwa perempuan usia muda pun tidak bebas dari resiko kanker leher rahim. Untuk itu TNI berkepentingan melindungi para anggotanya, militer dan PNS wanita dengan melakukan skrining karena sebagian besar pasien kanker diketahui datang ke dokter sudah dalam stadium lanjut. Dengan demikian para anggota TNI dan PNS wanita dapat memanfaatkan fasilitas ini berkesinambungan sesuai prinsip cegah dini.
Sementara itu bagi isteri anggota TNI dapat melaksanakan papsmear dan sadanis di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) satuan yang telah berkoordinasi dengan laboratorium klinik di wilayah setempat dengan mekanisme pembeayaan BPJS-K. Tugas para pembina kesehatan dan pengelola FKTP satuan  untuk menggerakkan para ibu di pangkalan masing-masing. Memang  terdapat pembatasan kuota, namun pemanfaatannya dapat disiasati dengan bergantian.