Menikmati sejuk pagi duduk di amben,
Nenek menjalani sisa usia.
Kudapan ketan berteman gula aren,
Aroma teh tubruk membongkar masa.
Bila telah tiba hari pasar,
Di beranda menyongsong matahari.
Nenek merangkai pesan datar,
Katanya teh terkemas kertas mudah dicari.
Satu jenama teh lokal paling disuka,
Seperti kenangan yang penuh arti.
Bertanda gambar wayang pada kemasan muka,
Mengendap dalam ingatan tak mau berganti.
Air panas dalam termos kusam,
Selubung bantal kapas menjaga suhunya.
Sebagian masa lalu tidak dibungkam,
Agar anak cucu mengenal riwayat leluhurnya.
Nenek mengungkap kisah di amben bambu,
Masa kolonial Walanda sebagai zaman normal.
Lalu derita romusha Jepang menjadi bumbu,
Untuk perang semua daya menjadi modal.
Sekeping gula aren membawa cerita,
Dari cangkir keramik teh kembali diteguk.
Perang kemerdekaan berlanjut derita,
Ulah liar pemberontak serasa direguk.
Di amben bambu aku bertanya,
Zaman normal kolonial hasil nenek mereka-reka.
Kehidupan mengalir tanpa perang jawabnya,
Aman ke sawah, berkebun, ke pasar, dan menikmati teh tubruk - itu sudah merdeka.
Amben bambu baru telah ada,
Nikmat gula aren dan teh tubruk tidak direka-reka.
Kisah tersimpan meski nenek tiada.
Dalam kekinian apa kita juga merdeka?
Pudji Widodo,
Sidoarjo, 06122024 (195/137).
Catatan:
- Amben : Â balai-balai untuk rebahan atau tidur, terbuat dari papan kayu atau bambu (Jawa),
- Walanda : Belanda.
 Sumber gambar: buku.kompas.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI