Pagi ini menyimak twitwar antara Gus Hafidz dan Ligwina Hananto, adu argumentasi seputar JILers vs anti JIL memang selalu seru untuk diamati dan direnungkan. Perkara JIL ini memang sangat halus, bahkan terkadang tanpa kita sadari apa yang kita lakukan itu sudah mirip dengan bebek-bebek JIL (meminjam istilahnya Gus Hafidz). Contohnya saja, lebih suka menyebut ‘Tuhan’ daripada ‘Allah’ atau lebih sering menyebut ‘sembahyang’ daripada ‘shalat’. Waspada, ini indikasi pemikiran JIL sudah mulai masuk ke alam bawah sadar kita.
OK, jika penasaran silakan lihat sendiri tweet mereka. Aku tak ingin memperpanjang pembahasan, hanya ingin sedikit menuliskan tentang apa yang kubaca semalam. Aku penasaran dengan pemikiran Irshad Manji (selanjutnya kutulis IM saja), kebetulan dapet link ebook IM yang berjudul Faith Without Fear: A Challenge to Islam Today. Baru kubaca bab pertama, tapi sudah jelas terbaca arah pemikiran liberal di sana. Berikut beberapa pernyataan IM yang cukup menarik dan perlu digarisbawahi:
Aku mengenang kembali saat itu dan berterima kasih kepada Allah karena aku berada dalam dunia di mana Al-Quran tidak harus menjadi buku pertama dan satu-satunya yang boleh kumiliki, seolah-olah kitab itu adalah kekayaan tunggal yang diberikan kehidupan kepada orang-orang beriman.
Ini pernyataannya ketika mendapatkan hadiah buku 101 Kisah Injil di penjagaan bayi gratis di Gereja Baptis Rose of Sharon saat umurnya 8 tahun dan dititipkan oleh ayahnya di sana, mendapat gelar sebagai Orang Kristen Paling Menjanjikan Tahun Ini.
Bangunan itu mengkarantina kedua jenis kelamin selama beribadah. Di masjid, laki-laki tidak pernah bertemu dengan perempuan, dan perempuan tidak pernah terlihat. Seandainya kenyataan ini bukan sebagai makna dari pengkotak-kotakan kami pada dunia-dunia yang sempit, maka aku pasti melewatkan sesuatu yang besar darinya.
Hijab ia maknai sebagai sebuah dinding pembatas yang mengekang kebebasan bertindak dan berpikir. Padahal kalau kita cermati, hijab ini esensinya adalah untuk menghindari fitnah yang timbul akibat ikhtilat antara laki-laki dan perempuan, sekaligus menjaga agar ibadah tetap khusyuk.
Di kedua tempat itu (Gereja Baptis Rose of Sharon dan Burnett Junior High—sekolah sekuler), martabat seorang individu sangat dijunjung tinggi. Tidak demikian halnya dengan di madrasah. Aku memasuki tempat itu dengan mengenakan jilbab polyester putih dan meninggalkan tempat itu beberapa jam kemudian dengan rambut yang kucel dan semangat yang letih, seolah-olah kondom di kepalaku telah dengan baik memvaksin diriku sehingga aku ‘aman’ dari aktivitas intelektual.
Ia pun jelas-jelas anti jilbab, bahkan mengatakan bahwa jilbab ibarat (maaf) ‘kondom pengaman’ yang membatasi aktivitas intelektualnya. Hal ini bertentangan dengan firman Allah dalam An Nur 31:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…”
Apa yang kupelajari tentang alasan perempuan tidak dapat menjadi imam? Aku tidak bisa memberi tahu Anda saat ini. Karena, bahkan jika para mullah dan guru-guru madrasah bisa memberikan jawaban-jawaban yang tepat, Al Qur’an justru tidak.
Bukti bahwa dia merendahkan Al Qur’an atas nama logika, tak sadarkah ia bahwa otak manusia itu amat terbatas? Bukan Al Qur’an yang tak mampu menjelaskan, tapi otak kita lah yang tak mampu memahami penjelasan di dalam Al Qur’an atau justru hatilah yang sudah tertutup hingga tak dapat lagi cahaya ilmu itu masuk ke dalam pikirannya.
Ketika masjid semakin kurasakan seperti madrasah, semakin jarang aku pergi ke sana. Aku mulai bersikap kritis terhadap keimananku. Aku mulai menumbuhkan hubungan personal dengan Tuhan daripada percaya begitu saja bahwa hubungan dengan-Nya harus dimediasi lewat jamaah.
Sesungguhnya amal Islam itu sebagian kecil wajib dilakukan secara pribadi dan selebihnya dikerjakan secara jama’i. Bahkan shalat yang dilakukan secara berjama’ah pahalanya berlipat 27 kali dibanding shalat sendirian. Belumkah ia melihat apa yang diajarkan Allah melalui perintah-perintah-Nya dan pahala yang Dia janjikan?
Namun demikian, seluruh syariat yang menginstruksikan untuk membersihkan bagian-bagian tubuh yang telah dtetapkan dalam wudhu, mengulang bacaan ayat-ayat tertentu dan membungkuk dengan sudut yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam shalat, semuanya pada waktu-waktu yang juga telah ditentukan, dapat membawa kita pada kepatuhan yang mekanis dan tanpa jiwa. Dan itu mendorongku untuk menggantikan rutinitas shalatku dengan sesuatu yang lebih mengarah pada kesadaran diri: percakapan-percakapan jujur, langsung, dan tidak terstruktur dengan Sang Pencipta sepanjang hari.
Meninggalkan shalat dan menggantinya dengan sesuatu yang lain. Bagaimana ia masih menyebut dirinya Islam padahal shalat itu sudah batas terakhir seseorang disebut beriman atau kafir? Memang benar, jika shalat hanya dimaknai sebagai rutinitas itu indikasi bahwa seseorang itu tengah kering jiwanya. Bukannya ia introspeksi dengan kondisi imannya justru mempersalahkan perintah Allah, bukankah ini logika yang terbalik?
Pertanyaan pertamaku adalah, “Bagaimana Anda bisa membuat Islam mampu menerima homoseksualitas?” Secara terbuka, kunyatakan diriku sebagai seorang lesbian. Aku bertemu kekasih pertamaku pada usia dua puluhan. Beberapa minggu kemudian, aku menceritakan hubunganku dengannya kepada ibu. Dia merespons dengan bijak, seperti biasanya. Sehingga, pertanyaan apakah aku bisa menjadi seorang muslim dan seorang lesbian pada saat yang bersamaan hampir tidak menggangguku sama sekali. Yang itu adalah agamaku. Yang ini adalah kebahagiaan. Aku tahu mana yang lebih kubutuhkan.
Mencampuradukkan yang hak dan yang bathil, ini inti dari ajaran liberal. Mencari pemakluman terhadap diri sendiri.
Demikian beberapa pemikirannya yang terlampau cerdas (atau bodoh) sehingga secara implisit ia mendewakan logika di atas Al Qur’an (wahyu yang jelas kebenarannya dan terpelihara keasliannya hingga akhir zaman).
“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
(QS Al Baqarah ayat 2)
Note: Istilah “refusenik” berasal dari kata “refusal” (penolakan, protes). Tidak jauh berbeda dari Liberalis Islam lainnya. Ia menghujat habis-habisan al-Quran, hadits, dan seluruh tradisi umat Islam dari salaf (zaman dulu) hingga khalaf (masa sekarang).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H