Mohon tunggu...
Public Virtue Institute
Public Virtue Institute Mohon Tunggu... -

Public Virtue Institute

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kampanye Kotor Daring: Dari Ranjau Fitnah ke Letupan Kekerasan

16 Agustus 2014   00:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:26 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jakarta, 14 Agustus 2014, Public Virtue Institute tidak mengkhawatirkan penggunaan kampanye politik yang kotor di dunia maya akan berkembang menjadi kekerasan di dunia nyata. Hal ini disampaikan setelah meneliti tren penggunaan kampanye kotor daring (online smear campaign/OSC) sepanjang kampanye pilpres 2014 berlangsung, baik setelah maupun sesudahnya, sampai dengan keputusan KPU hingga berlangsungnya gugatan di MK.

Lebih jauh, lembaga yang bertujuan untuk melindungi perkembangan demokrasi digital di Indonesia ini menemukan tujuan politik yang berbeda terkait dengan tahapan Pilpres 2014. Pada masa kampanye dan sebelum pilpres, OSC berperan sebagai upaya untuk mempengaruhi pilihan dan dinilai berpengaruh secara signifikan. Pada pasca pilpres, OSC digunakan untuk mendelegitimasi hasil quick count sampai dengan mendelegitimasi official count KPU. Namun, pasca official count, OSC digunakan untuk mendelegitimasikan lembaga-lembaga negara (KPU, Bawaslu dan MK).

Sayangnya, OSC pasca pilpres ini justeru menurunkan elektabilitas pasangan Prabowo-Hatta menjadi 30,39% (LSI, 7/8/14). Dugaan PVI, ketidakefektifan penggunaan OSC pasca pilpres ini memang tidak ditujukan untuk mendongkrak elektabilitas melainkan untuk investasi opini dalam rangka instabilitas politik (jangka panjang). Selain itu, gangguan OSC berfungsi sebagai tekanan untuk meningkatkan daya tawar transaksi politik (jangka pendek).

Yang menjadi perhatian PVI saat ini, penggunaan OSC yang semula bertujuan meraih dukungan politik lalu menjadi tekanan politik serta kemudian akan menjadi kekerasan politik di dunia nyata. Potensi ini nampak pada konten-konten yang dikemukakan elit politik serta agenda delegitimasi dari kubu Prabowo-Hatta. Meski demikian, netizen tidak akan terlalu berpengaruh.

Mengapa ini mungkin terjadi? Melalui risetnya, PVI menyatakan penggunaan OSC pasca Pilpres 2014 masih akan menggunakan aktor, pola dan konten yang sama.

Aktor-aktor pengguna OSC yang ditemukan tersebar dari elit politik, tokoh publik, simpatisan, media daring hingga warga digital biasa, termasuk yang anonim. Pola yang terjadi antara lain relasi segitiga antara media, elit politik dan warga biasa.

Adapun konten yang dieksploitasi, kerap menggunakan sentimen (a) ideologi (misalnya Jokowi Komunis), agama (misalnya Prabowo Kristen, Jokowi Kristen, Jokowi Kafir) dan ras (misalnya Jokowi Cina); (b) penampilan fisik (misalnya Jokowi Ndheso, Prabowo tak berkemaluan), dan perangai (misalnya Prabowo Psikopat, Jokowi Klemak-klemek); dan (c) manipulasi fakta dan data (misalnya pemelintiran pernyataan Eva Sundari dari PDIP tentang pengawasan terhadap khutbah Jumat).

Dalam hal konten, kami menyimpulkan bahwa semua urusan privat sangat rentan untuk dijadikan materi OSC. Sehingga, info terkait masalah privat seharusnya dihindari atau ditinggalkan sebagai bahan kampanye. Namun untuk beberapa hal yang terkait ruang publik, seperti orientasi politik (komunis, liberal, nasionalis dan lainnya) dan kebijakan politik, netizen perlu bersikap matang sehingga bisa memilah antara materi ONC (online negative campaign) dan materi OSC.

Dalam penilaian PVI, OSC kepada Jokowi-JK merupakan “ranjau fitnah”, dimana amat tergantung kelihaian Jokowi-JK untuk menghindarinya. Artinya, tiap-tiap langkah atau peristiwa yang terjadi akan terus meneris dikaitkan dengan konten-konten OSC yang sudah diopinikan. Contoh: soal seragam sekolah hari Jumat di DKI Jakarta.

Pasca Pilpres, terutama dari 9 Juli 2014 sampai dengan 22 Juli 2014, kami merekam upaya untuk menjustifikasi klaim kemenangan dari masing-masing kubu. Kedua kubu saling mendelegitimasi dengan mencari kelemahan dan kekurangan melalui pembangunan opini.

Kami mencatat setidaknya tiga opini kunci dari kubu Jokowi-Jusuf Kalla (JKWJK) dan enam opini kunci dari Prabowo-Hatta (PH) yang diapungkan. Tiga opini kunci JKWJK tersebut lolos/bebas OSC (atau masih tergolong ONC), yakni (1) Kemenangan PH yang delusional; (2) delegitimasi Lembaga Survei Prabowo-Hatta (Puspkaptis, IRC, dll) dan (3) Persuasi pengakuan kalah untuk Prabowo (Surat untuk Prabowo).

Adapun kelima opini kunci dari Prabowo-Hatta, duanya terindikasi terpapar OSC, yakni (1) Quick Count Vs Real Count (delegitimasi Quick Count); (2) Lembaga Survei berpihak; (3) Campur tangan asing; (4) Rekayasa opini media; (5) #antiPKI (Deklarasi Koalisi Permanen dan hashtag akun Fahri Hamzah).

Meski demikian, intensitas OSC di masa mendatang tidak akan sebesar selama kampanye pilpres. Penurunan intensitas OSC ini disebabkan oleh (1) kadar kompetisi yang berkurang; (2) rekonstruksi elit politik dan (3) fragmentasi pendukung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun