JAKARTA, KOMPAS - Petisi masyarakat terkait pendapat atau aspirasi tertentu menjadi salah satu alternatif penyampaian suara rakyat dalam pemerintahan RI ke depan yang dipimpin Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Eryanto Nugroho, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jumat (5/9), mengatakan, secara universal, hak petisi sudah diatur Piagam Magna Charta, yang disebut “The Right to Petition”.
“Indonesia tak asing dengan the right to petiotion ini karena pernah ada di UUD Republik Indonesia Serikat, dan juga di UUD Sementara, sudah diakomodasi,” kata Eryanto. di UUD 1945, hak petisi itu juga diatur dalam pasal-pasal terkait kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat.
Hak petisi, kata Eryanto, tercantum lagi dalam UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 44. Bunyinya: “Setiap orang baik sendiri maupun bersama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usul kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan bersih, efektif, dan efisien, baik lisan maupun tulisan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”
Dian Abaraham, aktivis anti nuklir, mengatakan, di Jepang setiap petisi serius disampaikan dan juga serius ditanggapi karena dijamin konstitusi. “Hak warga untuk memohon, meminta ganti rugi, menolak undang-undang, meminta UU baru, menolak atau meminta pencopotan pejabatnya, semua dijamin UU. Jangan takut ajukan petisi,” kata Dian.
Di Korea Selatan seperti dituturkan Resa Temaputra dari Public Virtue Institute, semua orang bisa menggugat, termasuk orang luar, misalnya turis.
“Ini bisa dilakukan sebuah pemerintahan, bukan harapan kosong. Indonesia bisa membuatnya,” kata Resa. (AMR)
sumber: Kompas, Minggu 7 September 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H