Mohon tunggu...
Puan Meirinda Sebayang
Puan Meirinda Sebayang Mohon Tunggu... -

perempuan dan jalang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Singkap Kutang dan Goyang di Ranjang

24 Mei 2011   08:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:17 1679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

..... [tarik nafas perlahan.. lalu keluarkan]... "Jadi, kapan nih?"  [ Apaan yang kapan? gajian?] "Gimana, udah isi belum?" [Jiaaah.. balon kali ya' tinggal diisi terus "belendung"] "Eh, kok kau kalah ama si "X", udah hamil dia 8 minggu".. [hah? emangnya lomba lari?] "Jangan ditunda-tunda, kalau sudah rejeki  dari Tuhan ga baik ditolak".. [Lha, udah masuk ranah dogma neh] "Wah, pasti mentingin karir dulu ya?" [ini nih lebih sok tahu]... "Kuliahnya kan bisa dilanjutkan lagi setelah melahirkan!" [Ouch.. please deh] "Jadi sekarang pake KB nih? jangan lama-lama lho" [*senyum-senyum] Miris? tentu saja.. Sedih? tentu tidak.. Saya jadi teringat beberapa tahun ke belakang ketika saya belum menikah. Setiap kali saya memenuhi undangan baik teman maupun kerabat, baik undangan nikah hingga akekahan, teman-teman maupun saudara akan menanyakan kapan saya menikah. Entah karena itu adalah pertanyaan "standar" yang harus ditujukan bagi perempuan "dewasa" yang belum terlingkari cincin kawin di jari manisnya, atau karena alasan lain yang menurut saya, "tidak penting". Saya sempat alergi dengan kata pernikahan saat itu. Bagi saya pernikahan itu rumit, seperti melembagakan sebuah hubungan dan upaya pelegalan hubungan seks antara perempuan dan laki-laki (saja). Mungkin saya salah, tapi begitulah kira-kira. Pada masa-masa itu saya sangat bersyukur, orang tua tidak pernah mendesak untuk segera menikah. Beliau-beliau cukup memahami karakter dan pertimbangan saya. Well, meski akhirnya saya menikah, dengan prosesi yang luar biasa berliku namun menarik.. antara adat, agama dan hukum negara tercinta. Belum lagi ditambah norma-norma masyarakat, cukup menguras enerji dan kantong orang tua tentunya.. Alhamdulillah saya diberikan suami terbaik dan mampu mengembangkan senyum kedua orang tua. Ah, mari kita lewatkan bagian itu.. yang penting saya sudah menikah. titik! Jangan lagi bertanya kapan.. Lalu saya kembali hadir di acara-acara keluarga dan kerabat. Dengan bangga sambil menggandeng suami tercinta, senyum tercantik saya ukirkan dengan titel baru yang disandang, yakni "seorang istri".. Ooow... ternyata saya keliru! Beberapa orang menyapa dan kemudian salah seorang perempuan tua (kerabat jauh) mulai bertanya kapan saya hamil? sudah isikah? sambil mengelus perut saya.. What?...wew... wow.. amazing! Meski terbeliak, saya tidak sedih dan tidak menyalahkan.. Saya sangat paham dan mulai menikmati "gaya masyarakat" kita. Memang demikian potret patriarkhi yang terjadi dalam penempatan perempuan di mata masyarakat. Fungsi perempuan yang selalu dikaitkan dengan kodrat.. setelah menikah, selayaknya melahirkan.. Tidak hanya harus jago menumis, tapi juga ahli menyingkap kutang dan goyang di ranjang.. Sangat jarang yang menanyakan bagaimana dengan pekerjaan saya, apa yang saya lakukan saat ini, bagaimana pendidikan yang sedang saya tempuh.. atau yang lebih sederhana, apa kabar saya hari ini... Yang lucunya lagi, desakan ini muncul bukan dari lingkar inti keluarga saya. Suami dan keluarga tercinta menyerahkan keputusan ini kepada saya sepenuhnya walau mungkin secara tidak langsung telah muncul "tekanan" kepada mereka mengenai kapan saya akan hamil... Sekali lagi, saya tidak sedih dan tidak marah.. justru saya mulai menikmati pertanyaan-pertanyaan itu. Mungkin dulu saya akan marah dan sinis menjawabnya. Tapi tidak kali ini. Saya sedang menempatkan diri saya pada sebuah pemahaman baru mengenai "saya sebagai perempuan dan manusia".. menikmati fungsi-fungsi yang berbeda di waktu yang berbeda. Saya sadar tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengubah pandangan masyarakat tentang "perempuan" sebagai manusia seutuhnya.. dengan hak seksualitas dan reproduksi seksualnya, tentang hak politiknya, tentang hak azasinya.. Hmmm... perjuangan R.A Kartini masih panjang.. Tidak apa-apa.. saya masih punya mimpi itu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun