Momen perhelatan politik sudah di depan mata. Momen bermartabat ini membawa semua calon anggota legislatif siap untuk unjuk gigi dan kertakkan rahang mempersiapkan diri bertarung. Para caleg makin bersemangat untuk mempersiapkan diri dengan sedikit demi sedikit mensosialisasikan diri di tengah debutnya masyarakat yang dengan tidak banyak mengetahui proses yang dipersiapkan para anggota legislatif ini. Sungguh sebuah persiapan yang matang ibarat "vikings" yang bertarung dengan pedang dan perisai kehidupan.
Setiap Calon anggota legislatif dengan cara sendiri mencari celah yang pas dan lobang yang dalam untuk menemukan mesin partai yang mapan dan mampu berjaya pada saat bendera berkibar tahun 2019 nanti. Setiap calon yang berdiri di bawah tiang bendera partai tentunya petarung dan pejuang yang siap duduk di atas siggasana raja mewakili suara rakyat. Suara yang keluar dari dalam goa tentunya menurut Bung Iwan Fals. Suara tersebut bukan cuma suara sumbang namun semestinya menjadi nada yang tak terlupakan dari ingatan masyarakat yang tentunya menginginkan perubahan yang baik bagi keberlangsungan kehidupan sosial di wilayahnya. Sehingga slogan itu semirip dengan slogan Anies-Sandi. " Maju kotanya bahagia warganya".
Para anggota legislatif tentu sudah mempersiapkan diri secara matang dan secara garis besar sudah siap berkibar bersama benderanya. Lihatlah partai titipan Sang proklamator yang kini disemayami sang ratu Banteng, Ibu Megawati Soekarnoputri dengan kepalan tangan siap menghentak sekuat tandung Banteng. Ya. PDIP. Tenggoklah juga Partai Gerindra dengan Ketua Umumnya Prabowo Subianto dengan gaya bahasa yang tegas dan penuh kedisiplinan. SBY dari Partai Demokrat dengan sosok yang "bersih" tanpa cela. Surya Pallo dengan bakaran api semangat Nasional Demokrat yang terus membakar hangus jiwa pejuang rakyat. Muhaimin Iskandar dengan jiwa kalem yang terus menperjuangkan semangat humoris Ala Gusdur. Di samping itu juga Partai lain yang tak kalah bersaing, PAN, PKS, PPP,Perindo, PSi dan masih banyak lagi. Mereka berdiri besar di atas partai mereka dan siap untuk anggota Legislatif manapun untuk merebut bendera mereka.
Persiapan diri yang dialami oleh para anggota legislatif tentunya bukan isapan jempol semata. Mereka tentunya sudah merebut hati rakyat sesungguhnya menginginkan mereka menjadi wakil mereka. Menjadi penyambung lidah rakyat. Bila mereka menjadi penyambung lidah rakyat, maka mereka adalah sang telinga yang nantinya menjadi mulut untuk rakyat. Terlihat jelas para candidat yang ingin bersaing kali ini mulai mempersiapkan diri dengan back to villange. Mereka siap untuk bertemu langsung dengan masyarakat. Berbaur dan hidup di tengah masyarakat, ikut berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan dan memang inilah waktunya. Hal ini bukan pencitraan yang dibaca oleh masyarakat biasa. Inilah cara untuk merebut hati rakyat. Strategi matang yang dipersiapkan.
Strategi yang dipersiapkan bukan hanya soal terlibat dan ikut mendengarkan rakyat saja tetapi juga niatan yang baik. Bahwasanya rakyat tidak boleh dibodohi dengan janji-janji politik. Janji- janji itu akan termakan usia setelah saudara sekalian dilantik. Rakyat tidak perlu diancam untuk menjadikan mereka kelinci percobaan. Mereka yang memiliki sedikit pengetahuan tentang politik. Mereka yang cuit dihadapan birokrasi yang tak mengerti hukum. Jangan kalian Ancam. Rakyat butuh kerja nyata bukan saling menjatuhkan satu dengan yang lain. Bukan pula membunuh lawan dengan cerita hoax. Sehingga jangan menjadi gosip jalanan yang miskin ilmiah. Aksi nyata itu bukan para caleg menjadi pahlawan di setiap hajatan politik tetapi menjadi sosok yang mengayomi dan tak memalukan masyarakat pada umumnya.
Menjawabi setiap tuntutan rakyat di atas, maka Herbert Mead seorang ahli sosiologi membuat asumsi tentang interaksi manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang menurutnya interaksi simbolik manusia berdasarkan simbol-simbol yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Simbol kehidupan tersebut menurut saya bukan para caleg saja yang mempunyai pengaruh yang besar dan uang yang cukup untuk diberikan. Bukan pula baju-baju mereka untuk dipakai dan rusak setahun kemudian, tetapi bagaimana nilai-nilai sosial yang dijaga. Politik biarlah tetap politik. Perlu kita jaga adalah hubungan kekerabatan. Bahwa hubungan sosial yang kita bina selama bertahun-tahun,rukun dan tenggang rasa yang kental dengan kehidupan kita patut kita jaga.
Dengan demikian, politik, jangan bunuh diri. Jangan melompat langsung dari jembatan, bangunan yang tinggi, tower sekalipun untuk mati, namun mari turunlah berlahan. Pahami simbol-simbol kehidupan sosial. Batasi gesekkan yang berbau SARA. Jangan nodai kerukunan sosial, jangan mempertontonkan kepahlawanan anda, jangan mempermalukan masyarakat tetapi pahamilah keinginan mereka dengan bekerja. Agar jangan terulang slogan banjir "basah kotanya berenang Warganya". Kerja nyata ini menjadi simbol tersendiri bagi Presiden Jokowi, "kerja, Kerja dan Kerja"
Sudahkah anda sekalian para anggota Legislatif bekerja? Belumkah?
Tuhan semesta Alam yang menentukan nasibmu. Garis tanganmu siap untuk diukir.
Salam Senaren dari bumi Lamaholot, NTT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H