Hai, namaku Effrida Ayni. Aku adalah seorang pelajar (yang baru-baru ini mempelajari hukum), seorang anak, dan juga warga negara Indonesia, yang kelak akan menjadi pemimpin, pesuruh, atau bukan apa-apa. Aku bukanlah seseorang yang pandai bicara --sebetulnya aku tak mampu meskipun aku ingin. Tubuhku banyak berkeringat jika dihadapkan oleh banyak orang, bahkan hanya untuk sekedar berkata “hai”. Dan, itulah alasan mengapa aku menulis. Menulis adalah cara lain bagiku untuk dapat didengar selain oleh telinga. Baiklah, aku terlalu banyak basa-basi. Maafkan aku.
Kau itu siapa? Apa arti pentingnya kau buatku? Aku tak mengerti dirimu, mereka pun begitu. Kau selalu berjalan sendirian dalam kegelapan seolah-olah tahu. Padahal tidak begitu. .
Kau itu siapa?Mengapa engkau sungguh tak berbelas kasih? Ketika semua diam, kau bertanya ‘kenapa’. Ketika semua berteriak, kau diam saja.
Ah...siapa sih engkau?
Indonesia...ahh, jujur saja, aku tak terlalu peduli padanya. Sebagian (atau bahkan seluruhnya) dari kalianpun begitu, iya kan? Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan dan dibesarkan –hingga sebesar ini—di sini. Maksudku, ayolah, sebelumnya mana aku tahu jika tempat aku lahir dan dibesarkan akan sedemikian ‘sakit’. Tak ada yang memberi tahuku. Itu semua terjadi secara tak terduga.
Ini tentang negaraku, tanah airku, Indonesia. Tahu kau betapa kayanya ia? Belanda tak datang kemari hanya untuk sekedar merokok dan minum teh. “Indonesia tidak akan pernah mati kehausan, sebab di tanah kami air begitu berlimpah. Indonesia tidak akan pernah mati kelaparan, sebab di tanah kami tumbuh subur tanaman.” Ah, yang benar? Jika air berlimpah, mengapa masih ada saudara sebangsa dan setanah air yang sampai mati kekeringan? Jika tanaman tumbuh dengan suburnya di tanah kami, mengapa masih ada saudara sebangsa dan setanah air yang sampai mati kelaparan? Ahh... kemana perginya air? Di mana tanaman yang katanya tumbuh subur itu? Apakah kalimat bumi dan air dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, hanyalah sekedar kata-kata? Pernah dengar Freeport? Sundal! Tanahku kau buat bolong. Kau jadikan kami nelangsa setengah mati.
Aku tak pernah lupa akan apa yang diajarkan oleh orang tuaku padaku. Pertama, taatlah pada Tuhan dan pegang teguh nilai agama agar terhindar dari perbuatan tercela. Kedua, pergilah menuntut ilmu sampai ke negeri Cina dan jadilah orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Ketiga, jangan jadi orang malas. Malas adalah pangkal kebodohan. Kebodohan adalah pangkal kemiskinan.
Ahh..tapi bu, kehidupan ini tak melulu mesti begitu. Ketika ada yang begitu taat pada Tuhannya, agamanya, mereka memandang sinis bak baru saja melihat seseorang melahirkan keturunan Dajjal. Mereka lupa akan “kemerdekaan tiap orang untuk memeluk agamanya, untuk beribadat menurut agamanya, dan kepercayaannya.” Ketika ada yang mampu berbicara Bahasa Asing dengan baik, mereka bilang “sok banget sih”. Bukankah setiap warga negara berhak atas pendidikan? Apakah mengaplikasikan apa yang telah dipelajari itu terlalu berlebihan dan terkesan sombong? Ketika ada satu-satunya orang yang giat, mereka bilang “Hey kau, bumi putera miskin. Pergi dan jangan bersekolah. Orang tuamu miskin, keturunannya juga miskin.” Ayolah, katanya setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaaan? Mengapa si-miskin yang giat belajar untuk mengubah nasibnya kau cela seperti orang yang hina dina? Mari kita tengok saudara kita di bagian timur. Masyarakat pedalaman? Bagaimana dengan mereka? Ya, anggap saja mereka menanam teguh nilai tradisi dengan menjauhkan diri dari kehidupan yang basi. Bagaimana dengan ‘kemerdekaan’? Bagi mereka, merdeka adalah bebas dari rasa takut. Rasa takut dari mati diburu oleh saudara sedarah, sebangsa, dan setanah air. Demi Tuhan, sederhana sekali.
Aku ingin hidup sederhana di dunia yang juga sederhana. Bebas menjalani kehidupan yang manusiawi 'tanpa label' yang menjadikan kita lupa akan "persaudaraan". Tak lagi mendengar orang mencaci-maki, bahkan sampai meneriaki pemerintah --bayangkan betapa sedih dan terluka perasaan anak dari bapaknya yang dicaci-maki itu. Tak ada saudara yang menghilangkan nyawa saudaranya. Tak ada kata “aku”, tak ada kata “kau”, hanya “kita”. Sederhana sekali, bukan?
“Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world. ”
Preamble of the International Covenant on Civil and Polical Rights (telah diratifikasi dan diimplementasikan ke dalam UU no. 12 Tahun 2005 "Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik")