Pembantu Presiden Jokow Widodo nampaknya tak pernah mau belajar dalammembuat peraturan perundang-undangan. Selama pemerintahan Kabinet Kerja, peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh kementrian teknis selalu menuaipolemik berkepanjangan di masyarakat.
Belum selesai masyarakat berpolemik mengenai PM 32 Tahun 2016 yangdikeluarkan Kementerian Perhubungan, kini masyarakat disuguhkan 'opera sabun'revisi PP 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi mengenaitata cara serta pelaksanaan network sharingdan PP 53 tahun2000 tentang spectrum sharing yang diinisiasioleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bahkan revisi ini sempat menyeretpertarungan bisnis antara Indosat Ooredoo dengan Telkomsel.
Meski polemik ini sudah berlangsung lebih dari tiga pekan, namun hinggadetik ini keberadaan dari draft revisi PP 52 dan PP 53 masih menjadi misteri.Bahkan operator telekomunikasi yang tengah 'gontok-gontokan' dalam memperjuangkanrevisi PP ini juga tak bisa menunjukan draft revisinya.
Meski tak bisa menunjukan draft revisi PP tersebut, namun lobi untukmemuluskan revisi PP ini telah dilakukan oleh salah satu operatortelekomunikasi. Bahkan petinggi operator telekomunikasi tersebut sesumbar jika draftrevisi PP 52 dan PP 53 ini sudah sampai di meja Presiden Joko Widodo. Entah sesumbartersebut benar atau hanya ‘omong besar’ dari petinggi telekomunikasi tersebut.namunkenyataannya polemik akan revisi PP ini sudah menyebar ke masyarakat.
Sebenarnya polemik revisi PP 52 dan PP 53 tak perluterjadi jika pemerintah dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mau mengikuti prosedur sesuai dengan UU No 12 tahun 2011mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pada pasal 5 UU No 12 tahun 2011 jelastertulis, dalam membuat perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asasPembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang memenuhi unsurketerbukaan. Pada penjelasan UU No 12 tahun 2011 tertulis yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah dalamPembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan danterbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yangseluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan PeraturanPerundang-undangan.
Selain itu pada pasal 96, angka 1 UU No 12 tahun 2011 juga tertulis denganjelas mengenai masyarakatyang memiliki hak untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalamPembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jika kita melihat hasil revisi PP iniyang gaduh, kemungkinan besar pemerintah lalai dalam menjalankan pasal di dalamUU No 12tahun 2011 tersebut. Jika peran masyarakat dilibatkan sejak awal, ‘kegaduhan’yang saat ini berlangsung bisa diminimalkan. Masyarakat sebagai pemangkunkepentingan bisa menilai manfaat dan mudaratnya revisi PP 52 dan PP 53 tersebut.Namun dikarenakan revisi ini ‘disamarkan’ oleh pemerintah, maka suudzon akan revisi ini berkembang dimasyarakat.
Bukannya ingin membela yang pro dan kontra revisiPP tersebut. Namun bisa jadi PP 52 danPP 53 tersebut baik untuk industri telekomunikasi. Namun dikarenakanadanya suudzon tadi, beleidyang kemungkinan akan memberi nilai tambah bagi industri telekomunikasi bisa pupusdi tengah jalan.
Jika Kominfo memiliki niatyang tulus ingin memajukan industri telematika di Indonesia, draft revisi PP yangmenjadi pertikaian tersebut harus segera dibuka ke publik. Tujuannya seperti yangterdapat pada pasal 96, angka 1 UU No 12 tahun 2011 mengenai keterlibatanmasyarakat dalam memberikan masukan terhadap perundang-undangan. Sehinggamasyarakat dapat menilai secara objektif apakah revisi PP tersebut untukkebaikan industri telekomunikasi atau hanya untuk mengakomodi salah satu operatoryang kini keuangannya tengah ‘terseok-seok’. Biarkanlah masyarakat yang menilai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H