Mohon tunggu...
Priyanto Sukandar
Priyanto Sukandar Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sah... Kementrian Perhubungan Berangus Taksi Online

19 April 2016   10:59 Diperbarui: 22 April 2016   01:49 17265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi | Foto: Kompasiana"][/caption]Ambisi Nadiem Makarim, Pendiri GO-JEK untuk meluncurkan layanan GO-Car di akhir April ini nampaknya harus tertunda. Pasalnya Kementrian Perhubungan baru saja menerbitkan PM 32 tahun 2016 yang mengatur mengenai Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek.

Salahsatu pasal di dalam aturan yang dibuat supercepat oleh Kementrian Perhubungan (dibuat hanya 7 hari) ini diyakini akan mematikan layanan GO-Car yang baru akan muncul dan menghambat usaha Uber dan Grab Car yang sudah berjalan. Pasal yang dipercaya menghambat perkembangan usaha mereka adalah pasal 18 ayat 3 huruf C.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa angkutan umum harus menggunakan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atas nama perusahaan. Padahal di dalam UU no 22 tahun 2009 tidak ditulis keharusan menggunakan nama perusahaan di STNK.

[caption caption="Pasal 18 ayat 3 | Sumber: jdih.dephub.go.id"]

[/caption]

Tentu saja pasal ini memberangus usaha GO-Car, Uber dan Grab Car. Sebab selama ini Uber dan Grab Car beroperasi dengan merangkul para mitra pengemudi perorangan. Pun jika mereka menggunakan perusahaan rental, jumlahnya relatif sedikit. Selain itu rental yang menjadi mitra Uber dan Grab juga tak menyematkan nama perusahaan di STNK. Rata-rata nama di STNK masih nama perorangan.

Pasal 18 ayat 3 huruf C dari PM 32 tahun 2016 yang dibuat Kementrian Perhubungan juga terbilang sangat aneh. Kementrian Perhubungan 'memaksakan' para perusahaan angkutan umum sewa ini untuk  menyematkan nama perusahaan di STNK. Padahal untuk moda transportasi angkutan umum lainnya yang non trayek lainnya seperti taksi, angkutan antar jemput, angkutan carter, angkutan lingkungan dan angkutan karyawan tak ada kewajiban untuk menggunakan nama perusahaan di dalam STNK-nya.

Ini jelas artinya. PM 32 tahun 2016 yang dikeluarkan tanpa konsultasi dengan publik ini sarat akan kepentingan operator transportasi besar yang selama ini berkuasa di Indonesia. Mereka tak ingin GO Car, Uber dan Grab Car ada untuk melayani masyarakat. Dalam UU lalulintas no 22 tahun 2009 hanya dijelaskan Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum. Bukan perusahaan. Ini artinya masyarakat yang ingin berusaha di industri transportasi telah 'diberangus' oleh aturan yang dibuat Kementrian Perhubungan.

Pun jika koperasi atau badan usaha lainnya diperkenankan mengelola angkutan umum sewa,lalu apakah ada korelasinya antara STNK harus nama perusahaan dengan nama perorangan? Di dalam UU Lalulintas jelas disebutkan bahwa STNK adalah bukti registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai kelengkapan kendaraan bermotor ketika bergerak dijalan, berisikan identitas pemilik, identitas kendaraan bermotor, nomor registrasi dan masa berlaku termasuk pengesahannya (Pasal 65 UU no 22 tahun 2009). Jadi tidak ada hubungannya sama sekali dengankeamanan dan keselamatan berlalulintas.

Jika kita mengibaratkan industri perhotelan, perusahaan angkutan umum itu seperti JW Marriott, Four Seasons, St Regis atau Hyatt yang memiliki brand dan management untuk mengurus hotel. Sedangkan pemilik kendaraan itu seperti Peter Sondakh sebagai investor yang memiliki properti.

Konsumen tidak melihat siapa pemilik hotelnya. Mereka hanya melihat pengelolanya apakah kredibel atau tidak. Sama seperti angkutan umum berbasis aplikasi ini. Jika terjadi terjadi kriminalitas di hotel atau layanan kurang memuaskan, yang bertanggung jawab adalah pengelola. Bukan owner.

Dalam kasus angkutan umum, pengelola angkutan umum wajib mencatat semua kelengkapan dan dokumen kendaraan bermotor. Termasuk pengendara yang bertugas. Dengan sistim IT yang dimiliki, jika terjadi kejahatan atau barang hilang di kendaraan umum, dapat segera di lacak.

Para mitra angkutan umum berbasis aplikasi ini engan untuk menegganti nama yang selama ini di STNK ke nama Koperasi atau badan hukum lainnya. Selain mengganti nama di STNK dikenakan biaya balik nama kendaraan bermotor yang besarnya 2/3 dari pajak kendaraan bermotor, mereka juga engan asetnya beralih ke pihak lain.

Keenganan tersebut bisa disebabkan berbagai alasan. Alasan pertama adalah karena para mitra terikat perjanjian kredit dengan perusahaan leasing. Kedua pengalaman buruk Koperasi Cipaganti tak ingin mereka dapatkan.

Jack Ma pernah berkata: “Jika kamu ingin tumbuh, temukanlah kesempatan yang baik. Saat ini, jika kamu ingin menjadi perusahaan yang baik, pikirkanlah permasalahan sosial yang bisa kamu beri solusi.” Jadi jika perusahaan transportasi besar ingin tumbuh, bukan dengan cara licik dengan dengan mempengaruhi regulasi. Namun mereka harus memberi solusi transportasi yang terjangkau dan nyaman bagi masyarakat banyak.

---

Link:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun