Sebagai contoh kasus 1 saya akan menggunakan emiten EMTK di Bursa. Â EMTK menggunakan metode ekuitas untuk mengukur nilai wajar investasi pada entitas asosiasi BUKA. Oleh karena itu EMTK telah menikmati 2 kali keuntungan kenaikan harga wajar karena ekuitas BUKA meroket, pada saat IPO dan setelah IPO.
Tahun 2022 (setelah IPO)
Awal tahun 2022 nilai investasi pada BUKA = 23,93% X ekuitas BUKA = 23,93 X 23,47 triliun = Rp. 5,62 triliun. Pada tanggal 31 Maret 2020, nilai investasi pada BUKA naik menjadi = 23,93% X 38,1 triliun = Rp. 9,12 triliun. Sehingga EMTK dapat mengakui untung karena kenaikan nilai investasi pada BUKA sebesar = 9,12 triliun -- 5,62 triliun = Rp. 3,5 triliun.
Setelah digabungkan dengan investasi pada entitas asosiasi lainnya, yang sedang mengalami penurunan nilai investasi, maka nilai bersih keuntungan dari investasi asosiasi menjadi Rp. 3,48 triliun (CLK 13).
Tahun 2021 (pada saat IPO)
Pada tahun 2021 EMTK mengakui keuntungan atas kenaikan nilai wajar investasi pada BUKA sebesar Rp. 5,8 triliun. Penyebab utamanya karena BUKA kedatangan investor publik pada saat IPO. Para investor publik berani membeli saham BUKA yang nilai nominalnya cuman Rp. 50 per lembar tetapi dibeli seharga Rp. 850 per lembar, sebanyak 257,7 juta lot. Sehingga secara relative (perbandingan) ekuitas, nilai relative ekuitas BUKA naik menjadi = 800 X 257,7 juta lot = Rp. 20,6 triliun.
Kepemilikan EMTK pada BUKA sebelum IPO = 34,39%, sehingga EMTK dapat menikmati keuntungan kenaikan nilai ekuitas BUKA sebesar = 34,39% X 20,6 triliun = Rp. 7,09 triliun. Tetapi karena kedatangan Investor Publik menyebabkan kepemilikan EMTK terdilusi, turun dari 34,39% menjadi 23,93%, maka keuntungan tersebut juga ikut turun, menurut CLK 13, nilainya sekitar Rp. 5,8 triliun. Atau dapat disimpulkan efek dilusi dan lain-lain mengkoreksi keuntungan sebesar = 7.09 triliun -- 5,8 triliun = Rp. 1,29 triliun.
Kesimpulannya pada saat IPO dan jika saham IPO dijual di atas harga nominal akan menaikan nilai relative asset para pemegang saham eksisting (sebelum IPO). Pada contoh kasus diatas, EMTK dapat mengakui keuntungan kenaikan nilai aset investasi sebesar Rp. 5,8 triliun. Jadi semakin anda membeli saham IPO harganya jauh diatas harga nominal, maka anda sebenarnya sedang memberikan donasi kepada pemegang saham eksisting, dalam bentuk laba yang belum direalisasikan.
Dan setelah IPO, jika harga saham turun, tidak memberikan dampak apapun kepada Pemegang Saham Pengendali, seperti yang terjadi pada kasus BUKA-EMTK, dimana setelah IPO harga saham BUKA turun, tetapi EMTK tidak perlu mengakui rugi apapun, sehubungan turunnya harga saham BUKA.
Sebagai contoh kasus 2 saya akan coba membantu dengan mengambil contoh emiten yang bakal IPO $NPII bulan Juni 2022 mendatang.
Dahulu kala, Ketika masih tanggal 31 Des 2020, emiten ini memiliki saham dengan nilai nominal saham Rp. 1 juta per lembar. Dilaporkan bahwa total setoran modal para PSP sebesar Rp. 3 miliar, maka jumlah saham NPII per 31 Desember 2020 hanya sebanyak = 3 miliar / 1 juta lembar = 3.000 lembar = 30 lot.
Tanggal 29 Desember 2021, nilai nominal saham dirubah menjadi Rp. 2 per lembar. Artinya terjadi pemecahan nilai saham = 1 juta / 2 = 500 ribu kali lipat. Â Sehingga yang dahulunya PSP hanya memiliki 30 lot, sekarang naik menjadi = 30 lot X 500.000 = 15 juta lot.
Menurut akta notaris, pada tanggal yang sama, kemudian para PSP melakukan tambahan setoran modal Rp. 257 miliar. Maka diterbitkanlah saham baru dengan nilai nominal Rp. 2 per lembar, sebanyak = 257 miliar / 2 = 1,285 miliar lot.