Mohon tunggu...
PSP Watch
PSP Watch Mohon Tunggu... Akuntan - Kalo kagak mampu mendirikan perusahaan, terus kenapa saham orang lain lu jual-jualin?

hobby menulis dan membaca laporan keuangan. Jika ada pertanyaan seputar laporan keuangan, financial engineering, emiten, saham, corporate action, silahkan tinggal pesan di komentar, jika ada waktu luang saya akan respond.

Selanjutnya

Tutup

Financial

PSAK 72: Akuntansi untuk Liabilitas Kontrak, Asset Kontrak dan Uang Muka: Studi Kasus BEST

4 Mei 2022   11:26 Diperbarui: 4 Mei 2022   11:26 9700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SUMBER : mitraland.com

PSAK 72 mengatur tentang pengakuan "penjualan" pada perusahaan property, yang penyerahan tergantung kepada kontrak atau perjanjian serah-terima. Dimana sebelum property diserah-terimakan kepada pelanggan maka penjualan belum dapat diakui.

Namun demikian karena kontrak telah disepakati (tetapi barang / jasa belum diserahkan) dan memiliki kekuatan hukum yang memaksa, maka agar supaya laporan keuangan memiliki informasi yang cukup, yang memungkinkan pengguna laporan keuangan memahami sifat, jumlah, waktu dan ketidakpastian pendapatan dan arus kas yang timbul dari kontrak dengan pelanggan, maka kontrak dengan pelanggan harus terefleksi dalam laporan keuangan.

Kemudian PSAK 72 mengatur, Ketika salah satu pihak dalam kontrak telah memaksimalkan, entitas menyajikan kontrak dalam laporan posisi keuangan sebagai "aset kontrak" atau "liabilitas kontrak", bergantung pada hubungan antara pelaksanaan entitas dan pembayaran pelanggan.

Jika pelanggan membayar imbalan, atau entitas memiliki hak terhadap jumlah Imbalan yang tidak bersyarat (piutang), sebelum entitas mengalihkan barang atau jasa kepada pelanggan, entitas menyajikan kontrak sebagai "liabilitas kontrak" ketika pembayaran dilakukan atau pembayaran telah jatuh tempo (mana yang lebih awal).

Dalam studi kasus $BEST menggunakan Laporan Keuangan tahun q1-2022, mungkin yang dimaksudkan oleh akuntan, bahwa telah terjadi kontrak jual-beli property antara emiten dengan pelanggan. Sehingga meskipun emiten belum terima pembayaran uang muka, tetapi kewajiban pelanggan membayar uang muka sudah jatuh tempo, maka emiten harus tetap mengakui "transaksi kontrak" tersebut sebagai "piutang liabilitas kontrak" yang mencerminkan hak tagih BEST kepada pelanggannya dan sebagai kontra akun pencatatannya adalah "liabilitas kontrak".

Dengan demikian, seharusnya yang ditampilkan dalam laporan keuangan nama akunnya adalah "Liabilitas Kontrak" bukan dengan cara memaksa menyebutnya sebagai "uang muka yang diterima", yang mana penggunaan akun ini menjadi miss-leading.  Adapun bentuk miss leading, yaitu Ketika emiten ini mengakui dalam laporan arus kas, bahwa teleh menerima uang dari pelanggan hanya sebesar Rp. 41,9 miliar, tetapi jumlah uang yang berasal dari uang muka pelanggan diterima, yang terefleksi pada laporan posisi keuangan, jumlahnya jauh lebih besar, yaitu sebesar Rp. 194,6 miliar.  Maka akan menimbulkan pertanyaan siapakah yang menerima selisih antara "uang muka yang diterima" (194,6 miliar) dengan "uang muka yang diterima dari pelanggan" (41,9 miliar).

Keanehan lain pada pembukan BEST adalah Ketika mengakui "hak tagih" kepada pelanggan yang telah terikat dengan "kontrak jual-beli property (yang belum diserahterimakan) sebagai "piutang usaha". Pencatatan seperti ini juga akan menyebaban "miss leading" atau tercampur aduknya antara hak tagih atas "property yang telah diserahkan yang telah dicatat sebagai penjualan" dengan "property yang belum diserahkan yang belum dicatat sebagai penjualan". 

Miss leading tersebut, yaitu Ketika melihat pertumbuhan piutang usaha BEST pada 3 bulan terakhir yang sangat siginifikan.  Pada awal tahun total piutang usaha sebesar Rp. 55,2 miliar, pada tanggal 31 Maret 2022 naik menjadi Rp. 225,7 miliar, atau mengalami kenaikan saldo piutang usaha sebesar Rp.225,7 miliar.  Padahal total penjualan hanya sebesar Rp. 73,9 miliar.  Jadi bagaimana mungkin penjualan hanya sebesar Rp. 73,9 miliar tetapi dapat memicu kenaikan piutang usaha sebesar Rp. 225,7 miliar??  Oleh karena itu agar informasi pada laporan keuangan tidak menyesatkan, maka "hak tagih" kepada pelanggan atas "kontrak jual-beli property yang belum diserahkan" yang telah jatuh tempo seharusnya dicatat sebagai "piutang liabilitas kontrak", bukan dicatat sebagai "piutang usaha".

Pada kondisi tertentu mungkin terjadi, bahwa sebagian dari property yang masih dalam penyelesaian (on-prgress) telah diserah-terimakan kepada pelanggan. Atas transaksi penyerahan sebagian property tersebut dicatat sebagai "asset kontrak".

Pada perusahaan konstruksi, penjualan dapat diakui berdasarkan progress pekerjaan yang telah diselesaikan dan property telah diserahkan sebagian kepada pelanggan, berdasarkan perjanjian termin. Oleh karena itu kontra akun dari "asset kontrak" boleh diakui sebagai "penjualan".

Setelah perusahaan konstruksi memiliki hak tagih, maka atas "asset kontrak" akan berubah menjadi "piutang dagang", yang dicatat bersamaan ketika invoice kepada pelanggan telah diterbitkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun