Emiten melaporkan nilai "property investasi" (CLK 10) per 31 Desember 2021, setelah dipotong beban penyusutan, sebesar = Rp. 1,08 triliun. Nilai tersebut, jumlahnya masih jauh dibawah harga pasarnya sebesar Rp. 4,6 triliun. Penilaian harga pasar berasal dari penilaian KJPP Maulana, Andesta dan Rekan tanggal 1 Maret 2022. Â
Selisih antara harga yang diakui dan dicatat pada laporan keuangan dengan "harga pasar" masih belum diakui, kemudian dibiarkan oleh emiten sekedar menjadi hidden gems, untuk treasury masa depan.
Dengan kebijakan PSP yang demikian, maka gampang ditebak, bahwa ini adalah emiten yang membosankan, cari aman selalu. Namun dapat dipahami juga kenapa perusahaan ini gemar cari aman, sebab emiten memiliki posisi keuangan yang menguntungkan sebagai berikut:
(1) Total sales rata-rata 3 tahun terakhir tidak lebih dari Rp. 2,4 triliun per tahun. Tetapi JRPT per 31 Desember 2021, telah menerima uang muka dari pelangganyanya sebesar;
= Uang Muka Penjualan + Pendapatan Diterima di Muka dan Setoran Jaminan
= 2,73 triliun + 370,1 miliar = Rp. 3,1 triliun.
Dengan demikian bagian penjualan selalu selangkah didepan bagian keuangan. Pada tahun 2021, bagian keuangan cuman mengakui nilai penjulan sebesar Rp. 2,17 triliun, padahal uang yang berhasil dikumpulkan oleh bagian marketing per 31 Des 2021 sebesar Rp. 3,1 triliun.
(2) Cash profit dan CFOnya masih selaras, menandakan bahwa laba perusahaan bukan abal-abal alias masih ditahan oleh orang lain atau tertahan dalam bentuk persediaan.
Total cash profit = Laba bersih + beban penyusutan = 787,7 miliar + 72,3 miliar = Rp. 860 miliar.
Jumlah cash profit tersebut masih selaras dengan surplus CFO yang dihasilkan sebesar Rp. 858,4 miliar. Maka laba bersih adalah laba yang hampir sempurna, semuanya telah berubah jadi uang.
(3) Emiten ini juga tidak dalam posisi harus terburu-buru mengumpulkan stock barang dagangan (persediaan). Sebab persediaan property per 31 Des 2021 sebesar;
= Persediaan + Tanah untuk Pengembangan = 2,68 triliun + 4,83 triliun = Rp. 7,51 triliun.
Jika diketahui Gross Profit Margin (GPM) per 31 Des 2021 = gross profit / total sales = 1,13 T / 2,17 T = 52%. Maka persediaan yang nialinya mencapai Rp. 7,51 triliun tersebut, setelah ditransfer ke laba rugi, menjadi "beban pokok penjualan dan beban langsung", maka dapat memicu sales sebesar = persediaan / (1-GPM) = 7,51 triliun / (1-52%) = Rp. 15,65 triliun.
Pada tahun 2021 total sales hanya sebesar Rp. 2,17 triliun. Jika diasumsikan tidak pertumbuhan sales, maka total persediaan sebesar Rp. 7,51 triliun dapat bertahan selama = 15,65 triliun / 2,17 triliun = 7 tahun.
Dengan memiliki 3 keunggulan posisi keuangan, tersebut diatas maka perusahaan ini mungkin dapat dikelompokan sebagai perusahaan yang "wonderful company" atau "no problem company".Â