Salah satu topik yang sering dibahasa belakangan ini di beberapa kongres psikiatri dunia terutama yang terkait dengan terapi famakologis adalah penerapan kedokteran presisi (precision medicine). Hal ini juga yang kembali dibahas pada pertemuan European College of Neuropsychopharmacologicum (ECNP) 2024 di Milan, Italia tanggal 21-24 September 2024 yang baru selesai hari ini.Â
Penjelasan terkait penerapan kedokteran presisi kali ini akan saya terapkan dalam mengatasi gangguan cemas yang saya sering hadapi dalam praktek saya sehari-hari agar pembaca lebih mudah memahami apa manfaat dari penerapan kedokteran presisi ini dalam praktek sehari-hari dan kegunaannya bagi pasien.Â
Gangguan cemas adalah salah satu masalah kesehatan mental yang paling umum di seluruh dunia, mempengaruhi jutaan orang setiap tahunnya. Gejala yang diderita pasien sering kali sangat bervariasi, mulai dari kecemasan berlebihan hingga gejala somatik (fisik) yang mendominasi, seperti nyeri tubuh, kelelahan, dan gangguan tidur. Pendekatan tradisional dalam pengobatan gangguan ini sering kali bersifat umum, menggunakan metode yang sama untuk berbagai pasien tanpa mempertimbangkan karakteristik unik setiap individu. Kriteria diagnosis yang biasa digunakan tentunya berdasarkan DSM 5 atau ICD 11 yang terbaru. Terapi standar didapatkan dari pedoman terapi menurut American Psychiatric Association (APA) atau NICE Guideline dari Eropa.  Di sinilah konsep precision medicine atau kedokteran presisi dan machine learning memainkan peran penting, menawarkan cara baru untuk memahami, mendiagnosis, dan merawat pasien berdasarkan data yang lebih spesifik dan relevan.
Apa Itu Precision Medicine dan Machine Learning?
Precision medicine adalah pendekatan yang menyesuaikan pengobatan dengan karakteristik individu pasien. Ini termasuk pemahaman tentang faktor genetik, lingkungan, dan psikologis yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang merespons pengobatan. Dalam konteks psikiatri, precision medicine bertujuan untuk memberikan terapi yang lebih efektif dengan memahami bahwa setiap individu adalah unik.
Machine learning, di sisi lain, adalah cabang dari kecerdasan buatan yang memungkinkan komputer untuk belajar dari data, menemukan pola, dan membuat keputusan tanpa perlu diprogram secara eksplisit. Dalam psikiatri, machine learning digunakan untuk menganalisis data pasien, mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada gangguan cemas, dan memprediksi respons terhadap pengobatan.
Mari kita lihat contoh seorang pasien bernama Rina, seorang wanita berusia 30 tahun yang mengalami gangguan cemas yang disertai gejala fisik/somatik. Rina sering merasakan nyeri di seluruh tubuh dan kelelahan ekstrem, yang mengganggu kualitas hidupnya. Meskipun telah mencoba berbagai terapi, termasuk obat-obatan dan terapi perilaku kognitif yang disarankan psikiater, Rina merasa tidak ada yang benar-benar efektif.
Dalam upaya untuk membantu Rina, tim medis memutuskan untuk menerapkan pendekatan precision medicine dengan dukungan machine learning. Mereka mulai dengan mengumpulkan data dari Rina dan pasien serupa lainnya. Data ini mencakup ; riwayat medis yang berisi informasi tentang gejala yang dialami, riwayat pengobatan, dan hasil dari terapi sebelumnya, data Psikologis yang didapatkan dari skor dari berbagai kuesioner/alat ukur yang mengukur tingkat kecemasan, depresi, dan kualitas hidup pasien. Gejala fisik yang dialami juga dicatat secara detil untuk menambah informasi yang ada termasuk juga informasi tentang stresor kehidupan, dukungan sosial, dan faktor lain yang mungkin berkontribusi.
Setelah data terkumpul, tim medis menggunakan algoritme machine learning untuk melatih model. Mereka memilih metode supervised learning, di mana model dilatih menggunakan data yang sudah diberi label, seperti hasil respons terhadap pengobatan sebelumnya (positif atau negatif). Model ini kemudian menganalisis data untuk menemukan pola yang menunjukkan faktor-faktor mana yang paling berpengaruh terhadap gejala somatik/fisik dan respons terhadap terapi. Hal ini juga termasuk dalam penggunaan pemeriksaan pharmacogenomic pada pasien untuk mencari pengobatan yang sesuai karakter genetik pasien. Setelah model dilatih, tim melakukan validasi menggunakan data pasien lain yang tidak termasuk dalam pelatihan. Model ini dievaluasi berdasarkan akurasi prediksinya dalam menentukan respons terhadap terapi yang mungkin efektif untuk Rina dan pasien lain dengan gangguan serupa. Hasil model menunjukkan bahwa Rina memiliki faktor risiko tertentu yang menunjukkan bahwa dia mungkin tidak merespons baik terhadap terapi standar yang telah dia coba. Sebagai gantinya, model merekomendasikan kombinasi baru dari terapi perilaku kognitif yang lebih intensif dan obat antidepresan tertentu yang lebih sesuai dengan profilnya.
Dengan pendekatan baru ini, Rina mulai merasakan peningkatan yang signifikan dalam gejala kecemasan dan fisiknya. Penggunaan machine learning tidak hanya membantu dalam memilih terapi yang lebih tepat tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana berbagai faktor berinteraksi untuk memengaruhi kondisi kesehatan mentalnya. Pendekatan ini menunjukkan bahwa precision medicine dapat mengubah cara kita mengobati gangguan cemas, dengan menekankan pentingnya perawatan yang dipersonalisasi.
Keuntungan Precision Medicine dan Machine Learning
Ada beberapa hal yang menjadi salah satu keuntungan dari kedokteran presisi ini. Pertama tentunya efektivitas yang lebih tinggi. Pendekatan yang lebih terfokus membuat pasien memiliki peluang lebih besar untuk merespons pengobatan dengan baik. Ini berarti mengurangi gejala kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup lebih baik lagi. Kedokteran presisi juga membantu dalam mengurangi efek samping terapi. Pemahaman karakteristik individu, dokter dapat memilih obat yang lebih cocok dan menghindari yang mungkin tidak sesuai untuk pasien tertentu. Namun demikian bukan berarti penggunaan kedokteran presisi ini tidak ada hambatannya. Penerapan model seperti ini menelan biaya yang tidak sedikit serta sumber daya yang banyak. Model seperti ini tidak bisa diterapkan dalam praktek sehari-hari apalagi di praktek yang sibuk. Prosesnya juga tidak segera namun memerlukan waktu sampai mencapai kesimpulan. Pengumpulan data-data juga membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga memerlukan banyak sumber daya yang mungkin tidak bisa didukung dalam praktek sehari-hari. Praktek sehari-hari tentunya lebih cepat dengan pendekatan empirik yang didukung data-data kedokteran yang berbasis bukti ( evidence based medicine )