Pasien dalam praktik keseharian saya sering bertanya "Apakah saya mengalami gangguan jiwa?". Ketika saya jawab "Iya Bu/Pak, anda mengalami gangguan jiwa". Pasien biasanya langsung kaget dan bertanya kembali "Jadi saya Gila, Dok?". Tentu saya jawab "Tidak semua gangguan jiwa itu artinya gila pak/bu".
Orang Indonesia dan saya rasa kebanyakan masyarakat dunia juga lebih banyak mengkaitkan masalah kejiwaan dengan kegilaan. Seolah-olah hanya kegilaan saja yang dikaitkan dengan gangguan jiwa. Padahal kegilaan yang dimaksud pasien tersebut sering dihubungkan dengan gangguan jiwa berat yang bahasa medisnya skizofrenia.Â
Pasien skizofrenia sendiri secara global dikatakan berada pada prevalensi 1%, sedangkan di Indonesia sendiri yang termasuk gangguan jiwa berat di mana skizofrenia termasuk di dalamnya yaitu sekitar 0,7% (Riskesdas 2018).
Gangguan skizofrenia sendiri bukan satu-satunya gangguan jiwa, ada gangguan jiwa lain seperti gangguan depresi yang lebih merupakan masalah global. Badan Kesehatan Dunia WHO saja memprediksikan tahun depan yaitu tahun 2020, gangguan depresi akan menempati urutan nomor dua beban penyakit global setelah penyakit kardiovaskuler.Â
Indonesia sendiri menurut hasil Riskesdas 2018 terdapat 6,1% orang yang dikategorikan mengalami gangguan depresi. Sayangnya hanya 9% di antara orang tersebut yang mendapatkan pengobatan.
Jangankan awam bahkan kalangan kesehatan sendiri sering menganggap bahwa masalah kejiwaan membingungkan. Minat mahasiswa kedokteran di Fakultas Kedokteran untuk memasuki jenjang pendidikan spesialis kedokteran jiwa sangat rendah dibandingkan minat mereka kepada pendidikan dokter spesialis lainnya.Â
Hal ini mungkin disebabkan karena masalah kejiwaan seolah-olah sulit dipahami. Mungkin salah satu sebabnya karena gangguan jiwa mengenai gangguan pada pikiran, perasaan dan perilaku manusia. Sesuatu yang sampai saat ini masih terus dipelajari oleh para ahli.
Kondisi ini di dalam praktik sehari-hari biasanya tergambar dalam kesulitan pasien menerima keadaannya ketika mengalami gangguan jiwa. Keluarga sebagai orang terdekat pasien juga sering kali merasakan hal yang sama. Tidak heran biasanya sering mereka bertanya apakah gangguan jiwa ini harus diobati atau cukup dengan sekadar memberikan dorongan pikiran positif atau meminta pasien untuk lebih banyak berdoa/sembahyang dan bersyukur.Â
Ada lagi beberapa anggapan awam bahwa masalah gangguan jiwa ini terjadi karena si pasien kurang keimanannya dan keyakinannya terhadap agama. Hal ini sering malah membuat pasien gangguan jiwa tidak mendapatkan terapi yang baik seperti gambaran pada hasil Riskesdas 2018 tersebut.