Mohon tunggu...
Psikologi Pedia
Psikologi Pedia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa/i

Cakrawala Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Narapidana Bukan Menjadi Alasan Pemberhentian Keberlangsungan dalam Pendidikan

13 Desember 2022   05:20 Diperbarui: 13 Desember 2022   05:28 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Siti Tarwiah_2221220076

Menjadi seorang Narapidana memanglah bukan suatu hal yang biasa, apalagi hidup dalam lingkunganyang sering berkecimpung dan serring dianggap rendah oleh masyarakat. Namun hal itu tidak dapat membuat pernyataan dengan alasan bahwa Narapidana berhenti mengemban Ilmu pendidikan. Narapidana yang menjalani hukuman di dalam lapas, sangat rentan memiliki gangguan psikologis,  keterbatasan fisik, dan sosial yang tidak dapat meluas. Kesetaraan narapidana dalam hal mengkaji pendidikan harus disama ratakan dengan penyebutan warga belajar agar sejahtera dikehidupan yang mereka jalani selama di lapas.  Seorang Narapidana juga memiliki hak atas pendidikan yang ada di Indonesia. Seperti yang berlandaskan pada UUD 1945 "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. "Kesejahteraan subyektif narapidana dan kekuatan karakter paling mungkin dicapai melalui proses pembelajaran. Meskipun dalam hal ini tentu saja pendidikan  tidak selalu berkaitan dengan pengajaran atau pendidikan formal, namun ada juga jalur pendidikan lain, seperti pendidikan informal, yang program pendidikannya serupa dalam paket A, B dan C. Penjara  adalah salah satu tempat di mana narapidana dapat dibesarkan sehingga ketika berada di masyarakat, mereka akan diterima dengan baik dan  menjadi seperti masyarakat pada umumnya. Proses pelatihan yang dilakukan lapas cukup beragam, seperti  life skill, bimbingan rohani, skill, vokasi dan peer training. Pemerataan dalam pendidikan  juga telah diterapkan di lapas bagi terpidana putus sekolah untuk menampung  kasus pidana (Kintamani, 2012). Selain kemerdekaan di Lapas (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) Negara, Narapidana (WBP) dan Narapidana telah kehilangan tanggung jawabnya, ada juga hak yang harus diberikan negara kepada mereka, antara lain hak atas pendidikan dan pelatihan. Hak ini merupakan bagian integral dari hak asasi manusia dari perspektif Islam serta peraturan perundang-undangan.

Narapidana yang menjalani hukuman di dalam lapas, sangat rentan memiliki gangguan psikologis, keterbatasan fisik, dan sosial yang tidak dapat mmeluas. Kesetaraan narapidana dalam hal mengkaji pendidikan harus disama ratakan dengan penyebutan warga belajar agar sejahtera dikehidupan yang mereka jalani selama di lapas. pada kesejahteraan subyektif narapidana. Sementara secara khusus melihat keterbatasan dalam hidup ini dalam bentuk kurangnya kepuasan, kebahagiaan dan kemandirian, seringkali mengakibatkan kemarahan dan depresi dalam kehidupan tawanan. Kondisi ini juga dapat terjadi pada warga yang mengikuti pendidikan sebaya karena berada di dalam Lapas. Menurut pandangan lain, bahkan ketika seseorang memiliki kondisi terburuk, seperti kesejahteraan subjektif, masih ada sisi positif yang bisa ditonjolkan. Menurut Moh. Fikri Tanzil Muttaqin, Hidayatullah Haila, Sudadio menyatakan bahwa "Kondisi umum dinamika kehidupan di lembaga pemasyarakatan berpotensi memicu menghilangkan atau menurunnya kualitas kesehatan mental, kebahagiaan, dan kepuasan hidup narapidana. Kecemasan juga menjadi persoalan yang sering dijumpai pada narapidana, bahkan terjadi pada narapidana yang menjelang bebas (Kusumaningsih, 2016).

Pembentukan karakter bagi seorang narapidana dalam pembelajaran harus dibentuk oleh Pengalaman belajar yang dapat diambil dari mata pelajaran, kursus atau modul serta bimbingan dari pengajar ke setaraan pendidikan non formal. Para narapidana harus ditanamkan nilai Sikap bersyukur sebagai konstruksi meaning, melalui kesabaran maka timbul-lah rasa syukur yang didapatkan selama di lapas. Narapidana yang sudah lama di penjara , dia merasa lebih bahagia karena tinggal di penjara mungkin membuat mereka berdua tahu tentang kehidupan.Moh. Fikri Tanzil Muttaqin daan Laksmi Evasufi pada jurnal Internasional pendidikan Asia Vol.3, No. 2, Juni 2022 menyatakan "penting juga untuk mewujudkan proses pendidikan yang menanamkan kekuatan karakter pada warga belajar; dalam hal ini, mereka adalah tahanan." Maka dari itu pentingnya menanamkan pendidikan pada narapidana untuk keberlangsungan haknya agar menjadi seorang yang berkarakter, besosial dalam kehidupannya sebagai bekal pengetahuan dikemudian hari.

Referensi

Mutaqin, M. F., Haila. H., & Sudadio. (2022). Rasa Syukur Dalam Keterbatasan:

Sebuah Makna Warga Belajar Pendidikan Nonformal di Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah, 7(2), 155-157

 https://doi.org/10.46966/ijae.v3i2.289

Mutaqin, M. F., Haila. H., & Sudadio. (2022). Rasa Syukur Dalam Keterbatasan:

Sebuah Makna Warga Belajar Pendidikan Nonformal di Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah, 7(2), 176-179

https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/E-Plus/article/view/17629https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/E-Plus/article/view/17629

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun