Mohon tunggu...
Supriyadi
Supriyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Penjual Kopi

Orangtuaku memberi nama Supriyadi. Boleh kalian panggil aku Pry

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Seni Membuat Hidup Saya Lebih "Happy"

12 Maret 2016   21:41 Diperbarui: 12 Maret 2016   22:26 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Edisi 1 Koran AyoRek menulis sosok Heti Palestina Yunani; putri tokoh pers nasional, almarhum RM Yunani Prawiranegara. Bagaimana dia menjalani peran hidup sebagai seorang ibu dari dua anaknya. Berikut wawancara wartawan Koran AyoRek Pry Supriyadi

  

[caption caption="Rubruk Jagongan Koran AyoRek"][/caption]

SURABAYA - Life begin at 40. Klisememang. Tapi perubahan yang dilakukan Heti Palestina Yunani, dimulai di usia itu. Meski baru terhitung berusia 40 tahun pada 15 Agustus 2016 nanti, memasuki usia empat dasawarsa itu disambut Heti, panggilannya, dengan sebuah perubahan di awal tahun 2016. Memilih resign sebagai redaktur di Tabloid Nyata, Jawa Pos Group, 1 April 2015 lalu, Heti sebenarnya tak menyangka jika ia harus pernah memilih meninggalkan perusahaan media ternama di Jawa Timur itu.

Selama ini, mantan redaktur di Radar Surabaya, Jawa Pos Group, itu rasanya hanya identik dengan profesinya sebagai jurnalis. Apalagi ia mewarisi darah jurnalis dari ayahnya yang seorang wartawan senior dan budayawan Jawa Timur, RM Yunani Prawiranegara (alm). Bagi ibu dari Syamsiah Naqsya Afghanistan dan Muhammad Baqi El Vatikan, keputusan yang dibuatnya mulanya memang tak dinyana akan datang di usia menjelang 40 tahun. “Tapi segala yang kita lakukan sekarang selalu ada kaitannya dengan apa yang kita lakukan dulu, paling tidak ada pengaruh yang tidakkita sadari namun muncul belakangan,” katanya.

Maka ketika kini jurnalis tak menjadi satu-satunya profesi, Heti merasa keputusannya untuk mendirikan Little Sun Art and Media Management (L-SAM) amatlah tepat. Alasan pertama jelas Heti memangg ingin mencari pekerjaan yang ‘ramah ibu’. “Saya terus terang ingin lebih bahagia dengan lebih dekat anak-anak. Cukuplahmereka lebih banyak tak bisa bersama saya karena profesi jurnalis yang saya cintai itu. Tapi jika ada siasat melakukan semua pekerjaan yang saya mau dan saya suka itu mampu membuat saya happy yaitu dengan menjadi ibu penuh dan tetap menulis sesuai prinsip jurnalis, tetap bisa saya lakukan, kenapa nggak? Inilah saatnya,” katanya.

Dilihat dari nama usaha barunya itu, ada dua hal yang difokuskan lulusan Antropologi Unair itu yaitu seni dan media. Keduanya diakui menjadi passion terbesar founder, owner, sekaligus director L-SAM yang resmi dikibarkan 2015 lalu itu. “Saya merasa dua hal itu sangat membahagiakan selama saya bergelut di dalamnya. Intinya kan bagaimana hidup itu bisa happy, salah satunya ya harus melakukan sesuatu yang happy. Jarang ada orang yang bisa bekerja di bidang yang ia cintai dan membahagiakan sekaligus mendatangkan benefit ekonomi. Caranya ya lakukan apa yang kita suka,” tegas peraih Federal Award bersama 20 wartawan Asia yang mendapatkan kesempatan press touring ke New York dan Washington pada 2011 itu.

Jika menilik media yang menjadi fokusnya, pilihan Heti mungkin tak mengeharankan. Jika dihitung sejak menjadi wartawan pelajar di halaman Kropel (Kronik Pelajar) milik Harian Sore Surabaya Post, lulusanjadi  SMA Negeri 5 Surabaya itu sudah menggeluti dunia wartawan sejak tahun 1993. Sampai berkuliah, Heti terus menjadi wartawan honorer di harian ternama Jatim itu sampai 2004bergabung di Radar Surabaya. “Ya jurnalis sepertinya memang sudah darah saya, jadi 20 tahun menggelutinya seperti tak perlu belajar keras. Menulis begitu saja saya bisa sejak SD hingga sekarang. Malah untuk masuk ke media-media di mana saya bekerja, saya tak pernah melamar. Semua datang begitu saja,” kata pengajar Swastika Prima Entrepeneur Collegeitu.

Sementara jika kini Heti lebih fokus pada kegiatannya di seni, ia merasa itu bukanlah hal baru. Mengarang dan memenangkan banyak lomba penulisan sejak kecil, lalu menulis puisi, menyanyi, bahkan bermain teater,  seperti sudah menjadi bagian hidup Heti yang dinikmatinya dengan enjoy. Namun karena lebih tampak menjadi jurnalis, maka seni seperti hanya menjadi warna dalam hidup Heti yang dikenal sangat dinamis dan enerjik itu. “Seni bagi saya ya hidup itu sendiri, orang pada dasarnya harus mengasah energinya dengan selalu bersentuhan dengan seni,” ujar mantan Ketua Alumni Antropologi Uiversitas Airlangga (KELUARGA) 2010-2015 itu.

Keyakinan itu agaknya benar, terbukti dari berkesenianlah Heti akhirnya bisa pergi keluar negeri untuk pertama kali. Pada 1996, bersama Teater Keliling Jakarta yang didirikan Rudolf Puspa dan Dery Sirna, Heti bersama lima orang anggota lainnya mengikuti Rafi Peer International Drama Festival di Lahore, Pakistan. Selama menjadi jurnalis, kegiatan-kegiatan seni selalu dilakukan Heti, setidaknya ikut menjadi volunter perhelatan seni di Surabaya, membaca puisi, sampai menjadi penampil di Parade Seni WR Supratman yang menjadi cikal bakal Festival Seni Surabaya.

Terakhir, heti juga diajak Moh Anis, Ketua Sanggar Merah Putih, untuk memperkuat jajaran panitia Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) hingga tahun 2014. Saat menjadi reporter, kecenderungannya menulis seni dan budaya juga mempengaruhi pergulatan Heti di dunia tersebut. “Selama saya redaktur di Radar Surabaya, saya sempat dibahagiakan Pemred Radar Surabaya kala itu, Leak Kustiya, -Direktur Jawa Pos-, dengan meminta saya membuat rubrik baru satu halaman bertajuk Art and Leisure, wah itu rasanya seperti ikan di aquarium,” ungkap kandidat Ketua Dewan Kesenian Surabaya tahun 2014 itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun