Sebelum saya mendengar nama Mukidi. Saya lebih dulu “mengenal” Mukidin, orang gila tetangga kampung masa saya masih kecil. Saya masih bisa membayangkan sosok Mukidin. Tubuhnya sehat dan berbadan besar serta sorot matanya tajam. Banyak anak kecil di kampung saya pada sembunyi. Karena takut, jika melihat kedatangannya untuk duduk di pos ronda depan rumah saya.
Jangan sekali-kali ngupil atau memasukkan jari ke dalam hidung jika berada di depan Mukidin. Pasti menjadi sasaran amukannya. Mungkin saja, Mukidin menganggap sebagai perbuatan penghinaan terhadap dirinya.
Hingga kini saya belum tahu penyebab dia psikopat. Tapi yang jelas, Mukidin telah menjadi reversal pada figur objek yang sering kali menjadi topik pembicaraan orang-orang kampung saya. Sehinggal memunculkan taggar baru kalau tidak #gombalmukiyo ya #gombalmukidin; sebagai bentuk ungkapan kejengkelan seseorang terhadap orang lain; yang diungkapkan dengan kalimat penekanan.
Mukidi, saya tidak mengenal. Hanya saja sekarang menjadi cerita luwes di media sosial. Bahkan seorang teman memposting status tentang Mukidi di fesbuk. Saya komen bertanya, siapa sih Mukidi. Balasan teman, wah ketinggalan jaman nih…!
Jawaban teman itu membuat saya penasaran. Akhir mbah Gugel saya panggil untuk minta petunjuk. Tanpa membakar dupa dan kemenyan, search…! petunjuk itu keluar. Akhirnya, saya menemukan blog yang dimiliki Mukidi. Sekilas membaca tulisannya dia berpendidikan cukup. Judul tulisan yang dibuat menunjukkan sosok yang gemar membaca.
Blog yang menggunakan template wordpress itu lumayan lawas. Dilihat pada archives blog, mulai mengupload tulisan-tulisannya, Agustus 2012. Tulisannya renyah, rata-rata terinspirasi dari peristiwa rakyat pada tingkatan bawah. Jauh dari kesatiran, namun pedes bagi orang yang peka.
Mukidi dan Mukidin, setuju atau menolak, adalah bentuk perubahan berangsur-angsur sampai pada titik ultimate di kehidupan sosial. Sehingga mampu memberi respon secara internal maupun eksternal. Secara internal Mukidi telah menghibur publik yang kadang kala jenuh mengahadapi situasi dan dinamika kehidupan yang berkembang.
Joke-joke yang dia tulis, berimbas pada eksternal, memberikan keredaman pada situasi dan kondisi yang hampir saja menuju anti klimaks pada persoalan horizontal yang masih menghangat pasca pilpres 2014; dari situasi politik, menteri berpaspor Amerika, hingga menteri sudah menjadi menteri masih minta jadi menteri lagi.
Menurut saya nama Mukidi, identik dengan nama Jawani. Saya membayangkan, dia tinggal di pelosok perkampungan desa, suka berladang dan bersawah. Tak pernah mengeluh. Lebih cepat menangkap momen yang dihadapi ketimbang pejabat yang berkuasa di negeri ini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H