"Apakah kamu pernah dipukul guru? " Pernah, bahkan saya pernah dikampleng (ditempeleng) sampai kuping berdenging. Padahal ketika itu saya tidak merasakan, kesalahan apa yang saya lakukan.
Seingat saya, ketika itu bersama teman-teman sedang main bola volly. Tiba-tiba guru itu mendatangi saya. Dengan jarak tidak begitu jauh, tangannya diayunkan nempeleng saya; bagian kiri kepala mengenai kuping. oh...! menahan rasa sakit dan saya kelas 5 tidak menangis. Semua teman hanya bengong melihat dan tak pernah lapor kepada siapa pun.
Bukan itu saja. Satu kelas saya dan teman-teman pernah dipukuli dengan batang kayu. Bukan penggaris yang biasanya menjadi alat pukul guru ketika itu. Seingat saya persoalan sepele. Ketika itu guru saya ini sedang makan salak di depan kelas. Saya dan teman-teman sedang serius mencatat tulisan yang di papan tulis.
Tiba-tiba, guru yang sedang makan salak ini memecahakan keheningan kami mencatat.. "Siapa yang mau salak, " ucapnya menawarkan. Saya masih ingat dan terang gambarannya, guru ini mengangkat salak yang masih masih beberapa biji di dalam kantong plastik
Kami serentak mengangkat tangan sambil berkata "saya pak..." Eh...tak tahunya semua dipukuli dengan kayu yang sudah disediakan itu. "Ini ya yang kamu minta, " katanya. Suara pukulan itu berbunyi "tong...tong...tong.... di kepala. sakit!
Merasakan sifat guru ini, saya dan teman-teman sering gelisah. Dan kami pernah merencanakan mengeroyok. Karena terinspirasi anak SMA di kecamatan dekat kampung saya, berantem dengan gurunya. Untung ada satu teman yang menghardik, jangan sampai melakukan pengeroyokan.
Hingga saya keluar sekolah dasar itu. Guru ini tetap masih jahat. Sifatnya menjadi kekhawatiran orangtua murid. Sebuah kejadian, dia tetap melakukan tindakan pemukulan. Setelah peristiwa pemukulan itu. Murid yang dipukul pulang, memanggil "jagoan kampung". yang kesemuanya saya kenal dan saya memanggil lek. Kebetulan juga mereka jago tawur pertandingan sepak bola di gala desa.
Dua berwajah brewok, satunya berkumis. Guru ini didatangi. Di depan kelas didekati; mukanya diobok-obok, dijendul-jendul. Tidak dipukuli. Telinganya dijewer-jewer. Peristiwa yang menjadi tontonan guru dan murid lainnya. Lalu guru ini menangis, minta maaf dan  bersujud di kaki ketiga "jagoan kampung" itu.
Cuma satu itu guru saya yang jahat, yang lain baik. Selalu saya kenang dan masih terbayang wajah mereka. Bu Tin, Bu Sri, Pak Dipo, Pak Jito, Pak Tris, suka mencubit. Terima kasih guru. Cubitan guru adalah kenangan (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H