oleh: Asep Koswara. pH. c
“Ini Bukan apa-apa tapi”;
Cinta itu Bukan apa selain hanya Insting Seksual.”
-Freud
Berbicara masalah cinta memang bukan masalah yang gampang. Setiap orang mungkin tahu apa itu cinta, bahkan pernah, sering, dan mungkin saat ini sedang merasakannya, namun pertanyaan saya apakah anda mengerti cara kerja dari apa yang disebut “cinta” itu?. Saya pikir jangankan saya dan anda, para ahli psychology-pun meski sudah bertahun-tahun mereka meneliti itu semua, namun hasilnya masih banyak diperdebatkan. Serumit itukah cinta itu?
Disini saya akan mencoba memaparkan beberapa fakta berdasarkan beberapa teori dan hasil penelitian yang kemudian saya hubungkan dengan konteks masyarakat dalam memandang konsep cinta. Meskipun hasil dari beberapa penelitian para ahli tersebut masih mengambang dan banyak orang yang memperdebatkannya, Saya hanya ingin anda sebagai pembaca yang memutuskan sendiri menurut pandangan subjektif anda.
Ada seorang mahasiswa kedokteran bernama Charles (2005: 25) telah melakukan penelitian, dan kemudian dia menyimpulkan bahwa cinta tidak lain hanyalah sebuah reaksi Bio-Kimia; yaitu semacam ketertarikan magnetik antara Ovarium dan alat kelamin laki-laki. Kemudian menurut beberapa ahliseksiologis yang telah melakukan penelitian tentang hal itu juga menyimpulkan bahwa cinta tidak lain hanyalah infeksi kronis sementara dalam tubuh yang disebabkan cairan dari benjolan seksual (Ovarium dan sel kelamin laki-laki). Ini berarti kita bisa merubah cinta semau kita; memunculkannya ataupun menghilangkannya hanya dengan cara mengoperasi benjolan tersebut. Apakah ini masuk akal? Percayakah anda?
Kesimpulan-kesimpulan seperti itu sebetulnya secara tidak langsung dipengaruhi oleh teori / ungkapannya Sigmund Freud yang saya sebutkan diatas “Cinta itu Bukan apa selain hanya Insting Seksual”. Dalam menginterpretasi hal tersebut memang muncul beberapa pertentaangan diantara para pengikutnya. “Apakah insting sexual disana hanya berkaitan dengan libido? Bagaimana dengan orang-orang yang beradab yang menganggap teori biologis tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan mereka?.”
Disinilah muncul pengikut yang menganggap bahwa cinta itu tidak serendah yang orang-orang sebutkan diatas. Mereka berpendapat bahwa insting sexual manusia tidak hanya berkaitan denganlibido saja namun mempunyai cakupan yang luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi interpretasi mereka adalah berasal dari doktrin agama. Selama berabad-abad pendeta gereja mempunyai peranan penting dalam hal ini, mereka menyampaikan doktrin kepercayaannya bahwa cinta tidak ada hubungannya dengan seks.
Ada satu teori sederhana dari Emile Lucka dalam bukunya Les trois echelons de l’erotism seperti yang tertulis dalam buku Psychology of Loving, bahwa-dalam hal manusia yang masih terbelakang- karakter cinta itu sepenuhnya seksual. Seperti seekor binatang, seorang laki-laki tertarik pada seorang perempuan semata-mata hanya berdasarkan insting.
Kemudian teory ini ditelusuri pembuktian dalam perkembangan sejarahnya. Teori tersebut mengalami perubahan pada jaman pertengahan yaitu ketika adanya doktrin permusuhan dari gereja terhadapsexualitas tubuh manusia. Karena hal itu maka cinta mengarah pada hal spiritual, bukan erotisme lagi. Bisa dilihat dari gaya berpacaran pada jaman ini untuk mendapatkan makna cinta tidak jarang seorang laki-laki membacakan sajak-sajak spiritual yang panjang-panjang agar bisa didapatkan maknanya oleh pasangan yang dia harapkan.