Mohon tunggu...
Djohan Chaniago
Djohan Chaniago Mohon Tunggu... -

Pemerhati Lingkungan dan Cinta keadilan, mengutuk segala perbuatan Penindasan yang merugikan rakyat.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kerusakan Hutan Jambi Mengkhwatirkan

19 September 2013   20:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:40 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Jambi,(Kompasiana)- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta untuk turun tangan, Berkaitan dengan adanya rencana pemerintah untuk melakukan Moratorium (Penghentian sementara) terhadap aktifitas Hasil Hutan pada tahun 2014 mendatang. Karena di khawatirkan akan terjadinya Pengalihan fungsi hutan alam untuk kepentingan industry. Sehingga akan menimbulkan dampak pada kelestarian hutan alam yang ada.

Pemerintah Norwegia telah sepakat mengucurkan dana Rp 9 triliun untuk moratorium hutan alam di Indonesia. Tahap pertama program ini direalisasikan tahun 2010, dilanjutkan moratorium untuk hutan primer pada tahun 2011, dan seluruh hutan alam pada tahun 2014. Sebagaimana fakta yang ada, banyak sudah hutan alam yang perizinan definitif nya dikeluarkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), tanpa sepengetahuan sejumlah pemangku kepentingan hutan, termasuk para aktivis lingkungan

Contoh semisalnya di Jambi, dalam tahun terakhir 2013, tidak kurang ada tiga lokasi hutan alam telah beralih fungsi untuk tanaman industri akasia, pertukangan, dan karet. Izin diberikan kepada PT. Mugi Triman seluas 37.500 hektar, PT. Malaka Agro Perkasa 24.485 hektar, dan PT. Bukit Kausar 33.310 hektar, termasuk PT. Sinar Mas Group (WKS) seluas 600.000 hektar. Akibat peralihan hutan alam tersebut, membuat masyarakat setempat sudah tidak bisa lagi bertanam padi sawah/ padi lading, untuk kesejahtraan rakyat.

Salah satu anggota Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi, Robert Aritonang menilai diperlukan ketegasan politik pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan, baik masyarakat maupun perusahaan. Perlu dilakukan intensifikasi dan pembatasan lahan. Mengingat, salah satu penyebab adanya degradasi hutan adalah perubahan fungsi kawasan untuk dijadikan komoditas lain, baik perkebunan maupun pertanian. Menurut Robert Aritonang, adanya intensifikasi lahan diharapkan masyarakat dapat lebih mengoptimalkan lahan yang ada tanpa membuka lahan baru dengan mengubah fungsi kawasan hutan.

Upaya yang dilakukan bertujuan untuk : a) menjaga keberlanjutan fungsi ekologis sumberdaya hutan (sebagai sumber benih dan bibit tanaman budidaya dan obat, penyedia protein nabati dan hewani, bahan bangunan dan kerajinan serta pelindung sumber mata air dan menjaga terjadinya bencana longsor dan banjir), b) mempertahankan dan mengangkat kembali eksistensi lembaga adat didalam melaksanakan fungsinya akses dan kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya alam, c) pemerataan kesempatan bagi masyarakat didalam pemanfaatan hutan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup secara serasi, seimbang, terkendali, terorganisasi dan berlanjut untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.

Dalam diskusi masalah lingkungan Robert pernah mengatakan,  penyusutan hutan tersebut diperoleh berdasarkan penelitian dengan menggunakan analisa satelit. “Berdasarkan data di Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi tercatat luas hutan di Jambi mencapai 2,1 juta hektare. Hanya saja luasan tersebut termasuk kawasan hutan yang sudah dikonversi, artinya fungsi hutan sebenarnya sudah hilang karena sudah ada izin pengolahannya,” ujarnya kepada Forum di Jambi. Menurut Robert, Konversi hutan secara berlebihan, merupakan salah satu penyebab utama meningkatnya pemanasan global, selain beberapa penyebab lainnya.

Keberadaan masyarakat adat dan lokal dengan sumberdaya hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan, bagaikan ikan dan air. Keduanya mampu menciptakan sisbiosa yang saling menjaga dan selaras. Oleh karena itu mereka memaknai sumberdaya hutan bukan sekedar tegakan kayu, namun lebih dari itu. Sebagai bagian dari sistem hidup dan penghidupan. Kedekatan hubungan antara sumberdaya hutan dengan masyarakat yang hidup didalam dan sekitar wilayah hutan.

Sumberdaya hutan merupakan salah satu hal terpenting bagi masyarakat, karena bukan hanya sebagai penyedia bahan-bahan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, obat-obatan, pendapatan keluarga, hubungan religi, ketentraman dan lainnya. Namun lebih dari itu, hutan bagian dari media ekspresi ilmu pengetahuan dan teknologi lokal, politik, budaya serta hidup dan kehidupan. Kondisi itulah yang menjadi dasar kuatnya militansi masyarakat adat Batu Kerbau, Guguk, Batang Kibul, Koto Malintang, Ladang Palembang, Lubuk Bedorong, Napal Melintang, Rantau Kermas, Baru Pangkalan Jambu, Keluru, Lempur, Hiang dan lainnya didalam menjaga kawasan mereka.

Sayangnya bentuk pengelolaan yang telah dipraktekan selama ratusan tahun harus mendapat tekanan terus menerus akibat berbagai kepentingan pembangunan. Pendekatan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, tertutup, sektoral dan berorientasi target ekonomi sesaat yang menafikan peranserta masyarakat serta rendahnya komitmen politik dan tidak berjalannya penegakan hukum menjadi titik kulminasi penyebab terjadinya kerusakan sumberdaya hutan saat ini. sumberdaya hutan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat telah menurun kondisinya.

Berdasarkan Data Departemen Kehutanan pada tahun 2000 terdapat areal hutan produksi seluas ± 41 juta hektar yang dikelola oleh 320 unit HPH, seluas ± 11,6 juta hektar (28%) telah rusak, menjadi semak belukar, tanah kosong, dan ladang. Sedangkan dari areal eks 112 unit HPH dengan luas 5,7 juta hektar yang dikelola PT INHUTANI I – V, seluas 2,6 juta hektar (45%) telah rusak, menjadi semak belukar, tanah kosong, dan ladang. Rekalkulasi terhadap hutan lindung dan kawasan konservasi seluas ± 29,8 juta hektar menunjukkan hanya ± 6,7 juta ha (54%) dari hutan lindung dan ± 10,7 juta ha (62%) dari kawasan konservasi (cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya, dan taman nasional) yang masih tersisa sebagai hutan primer.

Sementara hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 menunjukkan hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta ha, seluas 59,62 juta ha diantaranya berada dalam kawasan hutan yakni di dalam hutan lindung (10,52 juta ha), hutan konservasi (4,69 juta ha) dan hutan produksi (44,42 juta ha). Laju kerusakan hutan pada periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta ha/tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta ha/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode tahun 2000-2003 karena aktifitas penebangan liar, penyelundupan kayu dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang semakin merajalela (Bapplan, 2003).

Proses penentuan kawasan hutan menjadi kawasan konservasi, konsesi HPH/HTI, Perkebunan Besar Swasta, pertambangan yang merampas dan menegasikan bukti kepemilikan adat menjadi hal yang teramat biasa. Monopoli Pemerintah dan pengusaha terhadap pengelolaan hutan sebagai dampak keberpihakan berlebihan pada pengusaha, dimanifestasikan kedalam berbagai hak istimmewa untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan. Akibatnya terjadilah proses degradasi sumberdaya hutan yang sangat parah dan dehumanisasi pada masyarakat adat dan lokal yang hidup didalam dan sekitar hutan.

Kondisi ini menimbulkan terjadinya kesenjangan social ekonomi antara masyarakat yang mempunyai hak terhadap hutan dengan para investor sebagai subjek pelaku pembangunan yang diberi hak di dalam pengelolaan hutan. Akumulasi kesenjangan kemudian menjadi pemicu terjadinya konflik sosial, kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, meningkatnya KKN dan tidak terlaksananya penegakan hukum. Konsekuensinya masyarakat akan dengan gampang ditunggangi dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain yang ingin menangguk keuntungan dari hutan, sehingga terjadilah penjarahan hutan atau illegal logging yang berlindung di balik komunitas masyarakat.

Konflik internal dan eksternal yang bermunculan dipicu oleh dominannya negara pada akhirnya akan mempercepat putusnya rantai harmonisasi masyarakat lokal. Padahal, bagi masyarakat adat dan lokal mereka telah mampu menemukan sistem pengelolaan yang dilandasi oleh keberlanjutan dan keadilan. Bagaimana sistim nagari di Sumatera Barat, marga di Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Jambi atau Mendapo di Kerinci mampu membangun sekolah, masjid, jembatan gantung, jalan, kantor marga, mensantuni anak yatim, jompo dan para janda dari hasil pengelolaan sumberdaya alamnya. Tapi setelah semua bantuan dan intervensi ekonomi ditebar, kemiskinan makin meraja lela.

Saat itu juga belum ada produk perundangan didalam pengelolaan sumberdaya alam, desentralisasi ataupun perimbangan keuangan. Realitas yang mengagumkan bahwa nagari, marga maupun mendapo bisa mengelola sumberdaya alam yang ada secara arif, lestari, efisien serta bernilai tinggi. Tidak ada penyerobotan, saling klaim atau sejenisnya. Padahal banyak orang dari luar kemargaan yang berusaha, mulai dari memanfaatkan sumberdaya hutan, tambang, berladang dan lainnya. Saat itu (siapapun) harus tunduk dengan aturan adat. Dimana seloko adat dusun nan berpagar adat, tapian berpagar baso, tebing berpagar undang, rumah berico dan berpakai berpantang larang. Keair berbungo pasir, kedarat berbungo kayu, tambang pendulang berbungo daun, sawah dan ladang berbungo emping (semua mekanisme mempunyai aturan/norma hukum yang berdasarkan pada aturan adat, baik untuk hubungan antara sesama manusia maupun di dalam pengelolaan sumberdaya alam).

Marilah kita bandingkan dengan kondisi pengelolaan saat ini, konflik muncul dimanamana. Diberbagai kawasan hutan. Celakanya konflik yang muncul bukan hanya bernuansa lokal namun sudah melibatkan berbagai kepentingan, baik politik, ekonomi ataupun kelompok elit (lokal maupun Kabupaten). Esensi otonomi daerah yang seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan proses dan kualitas sistim politik pengelolaan sumberdaya alam yang lebih bersifat dan bermuatan lokal dan bagaimana menghidupkan sistim-sistim sosisal ekonomi budaya lokal.

Celakanya malah menjadi alat baru oleh pemerintah daerah untuk menjual murah sumberdaya alam yang ada, tanpa peduli dengan bentuk-bentuk pengelolaan yang baik dengan sistim adat. Kenyataannya proses penerapan otonomi daerah yang diikuti desentralisasi pengelolaan Sumber Daya Alam diterjemahkan terlalu sempit oleh Pemerintah Daerah. Otonomi hanya diartikan sebagai cara untuk meningkatan PAD sebesar-besarnya dengan cara apapun sebagai indikator kesuksesan.

Jika selama ini pembangunan yang sangat sektoral teknis telah menimbulkan kerusakan hutan seperti pembukaan lahan perkebunan besar swasta sawit, Konsesi pertambangan, areal transmigrasi, HPH/HTI, IPK dan lainnya. Pada massa otonomi diperparah dengan adanya ego administratif. Masing-masing daerah otonom cenderung melihat bahwa potensi sumberdaya hutan yang ada dalam wilayah administratifnya bebas dieksploitasi untuk kepentingan daerah tanpa melihat aspek kelestarian,keamanan maupun dampak negatif yang ditimbulkan. Sehingga para pengambil kebijakan yang tidak bijak berlomba-lomba membuka kran melalui tangan Dinas Kehutanan di Kabupaten berbagai izin eksploitasi.

Untuk itu Komunitas Konservasi Indonesia WARSI sejak tahun 1999 sampai saat ini melihat sangat strategis memfasilitasi model-model pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakat dengan pendekatan Hutan Adat di wilayah dengan berbagai tipologi konflik pengelolaan. Baik wilayah yang berkonflik dengan areal konsesi HPH (desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin, Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo Propinsi Jambi dan Batang Kibul Kecamatan Tabir Ulu, desa Lubuk Bedorong Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun), wilayah yang berkonflik dengan kawasan transmigrasi (desa Ladang Palembang Kecamatan Lebong Utara kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu dan Batang Kibul Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin – Jambi)), berkonflik dengan kawasan konservasi (Batu Kerbau, Ladang Palembang dan Batang Kibul) serta kawasan yang telah dikelola oleh maasyarakat adat (Nagari Koto Malintang Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat).

Untuk itu KKI WARSI melakukan pendampingan intensif di desa dengan berbagai tipologi wilayah sebagai inisiatif untuk merumuskan, memperbaiki kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan demokratis, menyediakan informasi dan mengkomunikasikan hasil proses belajar kepada pihak-pihak, memantau implementasi kebijakan pengelolaan hutan di daerah, studi serta dialog kebijakan dan menginisiasi penguatan sumberdaya manusia eksekutif dan legislatif didalam merumuskan aneka peraturan kebijakan pengelolaan hutan di daerah (Perda-perda) yang bernuansa kerakyatan dan ekologi dan mendokumentasikan proses-proses yang dilakukan untuk dijadikan wacana di tempat-tempat lain didalam pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan demokratis.

Dari beberapa lokasi yang difasilitasi ternyata tergambarkan dengan jelas bagaimana konflik laten terus muncul tanpa ada upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Selain itu upaya untuk mendorong gagasan baru pengelolaan hutan masih terganjal oleh ketidak seriusan Pemda, dimana mereka lebih mengutamakan peningkatan sebesar-besarnya PAD dari pada memunculkan bentuk pengelolaan yang berbasis pada masyarakat dan keberlanjutan fungsi ekosistem hutan. Saat ini kebijakan baru diera reformasi dan otonomi daerah makin mempersempit ruang bagi masyarakat adat dan lokal untuk mengekspreiskan bentuk-bentuk kearifan tradisionalnya.

Kegiatan lapangan yang digulirkan untuk mengurangi konflik dan mendorong proses menuju pengukuhan, pengakuan dan penghormatan kawasan kelola rakyat terus diikhtiarkan, kerangka metodologis memang belum menjadi prioritas utama. Belajar dari pengalaman munculah rekomendasi aktifitas yang telah digagas bersama masyarakat, seperti studi dan kebijakan, menyusun strategi dan rencana pengelolaan serta pengukuhan kawasan kelola rakyat yang bertumpu dari bawah, mengkomunikasikan dan mensosialisasikan inisiatif masyarakat kepada desa-desa tetangga melalui temu dan musyawarah kampung sekaligus memfasilitasi penyelesain konflik.

Dari kegiatan studi dan dialog kebijakan telah dikumpulkan beberapa peraturan mengenai kehutan dan sumber daya alam baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Peraturan-peraturan ini berfungsi sebagai dasar hukum dalam upaya melakukan advokasi kebijakan untuk pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat. Selain itu dialog kebijakan dengan berbagai stakeholder ternyata mampu menelorkan dukungan seperti anggota DPRD, Kepala Bagian Hukum, Kepala Dinas Kehutanan dan Sekertariat Wilayah Daerah Kabupaten. Memang dukungan masih sebatas dukungan personal, belum terinternalisasi menjadi dukungan institusi. Beberapa konflik bias dikurangi dengan pendekatan ini misalnya mendorong pengusaha HPH untuk segera secara resmi mengajukan surat kepada Menhut mengenai pengalihan kawasan menjadi kawasan hutan adat, penyelesain tatabatas antar desa dan upaya penegakan hukum untuk kegiatan illegal logging.

Penyusunan rencana pengelolaan bertumpu dari bawah dilakukan dengan alat pengumpulan data-data primer dan sekunder dari desa dampingan, sehingga dari data tersebut diharapkan dapat diketahui hal-hal apa saja yang dapat menunjang kegiatan dan apa yang menghambat kegiatan. Data tersebut dikomunikasikan dan dianalisis bersama masyarakat dengan tujuan sebagai alat mengingatkan kembali berbagai data mengenai desa, media refleksi untuk memilih strategi kedepan baik pembangunan maupun pengelolaan kawasan kelola rakyat. Hasil analisis bersama disampaikan melalui workshop kampung,hasilnya dikomunikasikan lewat selebaran di masjid,  surau, warung maupun balai-balai tempat berkumpul. Kegiatan mampu menjadi media untuk pembelajaran politik masyarakat sekaligus menyelesaikan konflik ditingkat lokal, misalnya konflik batas ladang.

Kegiatan sosialisasi dan komunikasi kepada Pemerintah Daerah dan Legislative dilaksasnakan baik melalui pertemuan informal dengan cara menemui stakeholders pada tiap instansi dan melakukan diskusi bersama mereka, juga dilakukan dengan cara formil dengan melakukan workshop dan dengar pendapat (hearing). Proses legal drafting sebagai alat untuk penyelesian konflik dan mendorong pengukuhan dan pengakuan diawali dengan membangun kesepakatan masyarakat dalam mengelola kawasan hutan yang telah mereka sepakati untuk dijadikan hutan adat dan telah mereka lakukan pemetaan terhadap kawasan tersebut secara partisipatif. Proses legal drafting ini diikuti dengan kegiatan advokasi kebijakan kepada pemerintah daerah.

Advokasi kebijakan ini bertujuan selain dalam upaya pengukuhan hutan adat desa-desa dampingan juga yang  menjadi tujuan utama adalah adanya suatu produk hukum berupa peraturan daerah yang mengatur mengenai pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat. Aktifitas kehidupan sehari-hari masyarakat tidak dapat terpisahkan dengan hutan, ladang, kebun, pemukiman, sungai, dan  umbersumber daya alam lainnya yang berada dalam wilayah desa maupun di luar desa.  Dalam menopang perekonomiannya, keberadaan kawasan hutan adat sangatlah penting, dimana kawasan tersebut berfungsi a) Perlindungan sumber-sumber mata air dan hulu sungai dalam kawasan hutan adat desa, b) sebagai penyediaa bahan baku untuk kepentingan pembangunan sarana dan prasarana sosial desa.

Sarana untuk kepentingan umum, c) penyediaa bahan baku pendukung usaha industri barang jadi rumah tangga dan konstruksi rumah tangga, d) penyediaa sumber benih dan bibit tumbuhan untuk kepentingan budidaya, e) sumber bahan baku obat-obatan tradisional, f) perlindungan keanekaragaman jenis tumbuhan dan dan hewan liar untuk memelihara proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur alam, g) mempertahankan dan mengangkat kembali peran dan kedudukan serta wewenang lembaga adat desa dalam melaksanakan fungsinya sebagai kontrol sosial masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam dalam kehidupan masyarakat desa tempatan, h) pemerataan kesempatan bagi masyarakat terhadap fungsi dan manfaat hutan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat adat secara serasi, seimbang, terkendali, terorganisasi dan berlanjut untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Sebagai contoh dapat digambarkan betapa besarnya potensi kawasan ekosistim hutan adat Batu Kerbau yang didalamnya terdapat Rusa (Cervus unicolor), Kancil (Tragulus javanicus), Babi Hutan (Sus scrofa), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Beruk (Macaca nemestrina), Elang Ular (Spilornis cheela), Gagak Hutan (Corvus enca), Harimau Sumatera (Phantera tigris Sumatrae), Kuaw (Argosianus argus), Kalong (Pteropos vampyris), Kera (Macaca fascicularis), Kijang (Muntiacus muntjak), Murai Batu (Copsycus malabaricus), Musang (Paradoxurus hermaphroditus), Rangkong (Buceros rhinoceros), Siamang (Symphalangus syndactylus), Simpai (Presbytis melalophos), Tenuk (Tapirus indicus), Ungko (Hylobates agilis) dan lainnya. Selain itu juga terdapat berbagai jenis rotan, manau, damar , meranti, jelutung, medang, gaharu dan lainnya.

Selain itu juga terdapat areal salak alam lokal seluas 50 ha, yang menyebar di segenap wilayah desa, dengan jenisnya adalah salak ular, kelapa, abu, tembaga dan bawang. Bahkan ada mitos salak dewa yaitu rumpun salak yang tidak bisa difoto. Selain itu juga terdapat pohon enau lokal sebanyak 1.200 batang yang tersebar diberbagai kawasan didesa dengan jenis enau gajah, berban dan ketari. Pohon durian tersebar disetiap wilayah desa, mencapai luas sekitar 110 hektar dan berbagai tumbuhan buah lokal lain seperti embacang, kepayang, kulun tunjuk, bedaro, cempedak, duku serta rambutan.

Pada musim tanaman buah-buah berbunga juga masyarakat dapat mengambil madu lebah pada pohon sialang (Pohon kedondong hutan dan jelmu) yang tesebar di sesap, belukar dan kawasan hutan desa. Dari inventarisasi pohon sialang di dusun Batu Kerbau terdapat pohon sialang yang produktif sekitar 20 batang (dalam kawasan Hutan Lindung 7 batang, Hutan Adat 1 batang, Batang Mai 6 batang, dan hulu Batang Seketan 5 Batang). Jika musim buah-buahan datang, masyarakatj uga mendapatkan penghasilan tambahan dari tanaman Duku, Durian, Manggis, dan buah-buahan lain yang musimnya seringkali datang serentak. Disamping itu mereka juga sering mengambil buah-buahan hutan seperti petai, durian hutan, rambutan hutan, bedaro, tampui, buah tungau dan banyak lagi jenisnya.

Bagi mereka hutan adat merupakan salah satu hal terpenting sebagai bentuk pembelajaran kepada pemerintah bagaimana teknologi dan kearifan lokal yang dianggap terbelakang ternyata mampu menjedi penyelamat, karena terbangunnya hubungan emosional antara hutan dan masyarakat. Dari hutan mereka bisa hidup dan sebaliknya sehingga selalu diupayakan agar pengelolaannya dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya. Kondisi seperti itu masih hidup diberbagai wilayah yang difasilitasi.

Proses Menuju Pengukuhan Kawasan Hutan Adat

SK pengakuan, pengukuhan dan penghormatan kawasan kelola rakyat oleh Pemerintah hanyalah salah satu alat untuk menyelesaikan konflik serta membuat terobosan dan pilihan hukum. Bagi beberapa lokasi pengakuan menjadi sangat penting, khususnya untuk merebut kembali kawasan adat dari tangan HPH. Sebab apabila belum ada pengakuan dikuatirkan kawasan tersebut akan di HGU-kan dan di IPK-kan. SK Bupati dan Perda mengenai pengukuhan sangat penting dan perlu segera ditindak lanjuti  karena dengan adanya SK tersebut merupakan manifestasi adanya pengakuan oleh pemerintah terhadap eksistensi masyarakat dan hukum adat.

Tanpa adanya pengakuan terhadap masyarakat lokal, sangat sulit sekali bagi masyarakat adat untuk melindungi dan mengelola kawasan secara berkelanjutan dan lestari. Masyarakat lebih banyak dirugikan jika berhadapan dengan pihak-pihak luar yang mempunyai ijin usaha dari pemerintah karena kekuatan masyarakat adat dalam nilai tawar/bergaining sangat lemah.

Strategi yang dipakai untuk mencapai sasaran tersebut adalah dengan jalan melaksanakan kegiatan identifikasi potensi kawasan kelola rakyat dilapangan dengan metode partisipatif (perencanaan pengelolaan, pemetaan, inventori partisipatif aturan pengelolaan), mengkoordinasikan dan menginformasikan hasil kesepakatan masyarakat

Membangun komunikasi dengan berbagai stakeholder seperti DPRD, Pemerintah Daerah, Dinas Instansi Teknis, LSM, Perguruan Tinggi dan masyarakat adat, loby serta mediasi dengan berbagai stakeholder ditingkat lokal. Menyelenggarakan berbagai forum diskusi untuk kepentingan masyarakat, khususnya upaya untuk mempromosikan aktifitas masyarakat, pengetahuan lokal, kearifan tradisional dan potensi wilayah yang berkaitan dengan hak kelola rakyat. Implementasinya adalah dengan jalan a) melakukan kampanye paradigma baru yang mengedepankan masyarakat didalam pengelolaan sumberdaya alam, b) memajukan tuntutan agar dikembalikan hak otonomi masyarakat adat dalam merencanakan, mengelola, mengawasi, dan memutuskan setiap bentuk usaha pengelolaan wilayah desa/adat sesuai dengan asas pembangunan yang berkelanjutan dan lestari, c) meyakinkan pihak pengambil kebijakan untuk melibatkan dan memahami aspirasi masyarakat lokal di dalam setiap peruntukan.

Pembukaan kawasan hutan/tanah ulayat masyarakat adat untuk berbagai peruntukan yang dilakukan oleh pemerintah maupun badan usaha, perlu dilakukan secara adil terhadap hasil eksploitasi sumber daya hutan bagi masyarakat lokal, d) mempromosikan dan upaya pengakuan wilayah-wilayah yang telah dikelola secara adat dan terbukti mampu menjaga keberlanjutan fungsi hutan dari berbagai kepentingan eksploitasi berbagai sektor swasta. Belajar dari pengalaman lapangan, didapat beberapa tahapan yang bisa menjadi alat bantu untuk mengembangkan inisiatif pada wilayah-wilayah lainnya. Sesuai dengan ke”khasan” dari wilayah masing-masing secara jelas, dengan tahapan proses nya.

Contoh semisalnya Penjajakan calon lokasi kegiatan dilakukan untuk melihat apakah lokasi tersebut memang betul-betul memiliki areal lahan yang oleh masyarakat telah dikenal dan dikelola sebagai hutan adat; imbo larangan; imbo pusako dan atau nama lainnya. Melihat apakah selama ini ada kearifan masyarakat dalam pengelolaan hutan; ada aturan adat yang memang mengatur pengelolaan hutan adat. Silaturahmi dengan pemerintah desa/pemerintah kecamatan/tokoh masyarakat untuk mengkomunikasikan gagasan serta tujuan pengelolaan hutan adat. Pengumpulan data awal (monografi desa), pemetaan tokoh, pemetaan konflik;  sehingga tahu betul bagaimana kondisi desa calon lokasi kegiatan dan mengetahui titik masuk fasilitasi.

Ketika identifikasi awal sudah dilakukan, maka sosialisasi yang lebih luas perlu dibangun: Sosialisasi melalui pertemuan dusun dan melalui pertemuan desa, Membangun kepercayaan dengan diskusi yang intens ke pemerintah desa, tokoh masyarakat, alim ulama, tokoh adat. Menjaring berbagai informasi tentang bagaimana pengelolaan, pemanfaatan hutan oleh masyarakat yang telah berlangsung. Menampung berbagai inisiatif/kearifan masyarakat terkait dengan masalah hutan adat. Menggali masalah adat, sejarah pemanfaatan hutan agar tetap mengacu pada aturan yang memang sejak dulu mereka sepakati.

Penting untuk melakukan Komitmen masyarakat untuk menjaga, melestarikan, mengelola secara arif hutan adat yang dimiliki, Kesepakatan terhadap mekanisme pengelolaan hutan adat desa mengacu pada sejarah adat yang sudah ada. Kesepakatan mengenai aturan main yang akan dipakai dalam pengelolaan hutan adat mengacu pada aturan adat yang sudah ada. Kesepakatan tentang lokasi (batas) areal hutan yang disebut sebagai hutan adat desa. Kesepakatan untuk membentuk kelembagaan sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masyarakat/desa. Proses ini dibangun secara partisipatif, demokratis dan melibatkan seluas-luasnya masyarakat yang akan menjadi pengelola dan pemanfaat kegiatan Membentuk dan menguatakan kelembagaan kelompok pengelola, sebagai wadah kerjasama dalam pengelolaan dan pengamanan hutan, Membentuk dan memperkuat aturan main dalam pengelolaan hutan adat, mengacu pada aturan adat dan kesepakatan masyarakat. Menyusun tugas dan fungsi kepengurusan kelompok pengelola.

Membagun mekanisme koordinasi, mekanisme pengelolaan kegiatan dan mekanisme penyelesaian konflik yang kemudian di sahkan bersama. Semua proses tersebut diatas dibuat berita acara/didokumentasikan dan ditandatangani oleh unsur-unsur masyarakat yang disepakati kemudian. Untuk memperjelas wilayah kelola yang selama ini hanya ada dalam sejarah/tambo adat, sangat penting untuk “mewujud nyatakan” ruang tersebut. Pemetaan partisipatif bisa menjadi salah satu media untuk mengkongkritkan gambaran imajiner wilayah menjadi sebuah peta yang dapat dipahami bersama serta sebagtai alat untuk negoisasi dan pengelolaan. Pemetaan akan bermanfaat untuk: Melihat secara bersama lokasi hutan yang akan dikelola sebagai hutan adapt desa, dengan batas-batas wilayah yang jelas.

Memilih tim (dari masyarakat) yang akan terlibat dalam kegiatan pemetaan. Melakukan pelatihan pemetaan bagi tim, agar dapat menggunakan alat yang akan dipakai dalam pengukuran, dengan Melibatkan tim dalam proses pemetaan, Menyesaikan persoalan tata batas (bila ada,) Berkoordinasi dengan masyarakat atau lembaga adat yang secara pasti mengetahui batas-batas hutan adat yang dimohonkan, Merintis jalur batas sekaligus memasang patok-patok sementara Memetakan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang ditandatangani oleh seluruh unsur team terpadu. Menyiapkan bahan-bahan Pendukung untuk Mendorong Lahirnya Pengakuan, Revisi aturan (piagam kesepakatan) apabila ada kesepakatan batas yang baru, sekaligus menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang belum diatur dan tegas.

Keputusan kepala Desa Pancakarya tentang pengakuan kawasan hutan adat atau nama lainnya, Keputusan lembaga adat tentang pengakuan kawasan hutan adat dengan melibatkan tokoh adat, Lembaga Adat serta Warsi sebagai fasilitator, Surat permohonan pengukuhan oleh Bupati dalam hal ini disiapkan oleh kades dengan sekdes, tokoh adat dan dimusyawarahkan dikampung, Warsi berperan hanya sebagai fasilitator. Proses ini dilakukan untuk merampungkan Draft Keputusan Bupati yang mengakomodir keinginan masyarakat, cita hukum serta memasukkan peraturan perundang-undangan yang mengakui, menghormati hak kelola masyarakat. Proses ini sama-sama dilakukan oleh Legal Officer, serta Fasilitator Desa setempat. Hasil Drafting ini bertujuan mengarahkan pengambil kebijakan di Pemda.

Bundel ini sengaja dipersiapkan, kemudian diserahkan ke Bagian Hukum dan Dinas Kehutanan sebagai upaya mendorong (presure) Pemda agar segera menerbitkan SK Bupati, karena persoalan batas sudah selesai dan semua bahan pendukung sudah lengkap, sehingga aspirasi masyarakat harus segera diwujudkan. Proses pengawalan SK pengukuhan dilakukan untuk memastikan bahwa konsep pengelolaan yang otonom oleh masyarakat diakomodasi didalam SK Bupati. Sehingga diskusi intensif dengan Bagian Hukum dan Dinas Kehutanan harus selalu dilakukan. Keluarnya SK Bupati, kemudian dikomunikasikan dengan masyarakat dampingan, Media dan para pendukung inisiatif hutan adat lainnya. Hal ini bertujuan untuk membangun dukungan publik juga untuk menginspirasi wilayah-wilayah lainnya yang sedang melakukan kegiatan yang sama.

Saat ini Bupati Kabupaten Bungo telah menerbitkan Surat Keputusan Bupati Nomor.1249 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, dimana lima lokasi seperti Hutan lindung Batu Kerbau 776 Ha, Hutan Lindung Belukar Panjang 361 Ha, Hutan Adat Batu Kerbau 386 Ha, Hutan adat Belukar Panjang 472 dan hutan adat Lubuk Tebat 360 Ha. SK Bupati ini kemudian ditindak lanjuti dengan keluarnya Perda Nomor.3 Tahun 2006 tentang pengakuan Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih. Perda ini makin memperkuat kedudukan dan otonomi masyarakat adat dan lokal didalam pengelolaan sumberdaya hutannya secara berkelanjutan dan berkeadilan dengan memakai aturan adat.

Selain itu juga Bupati Kabupaten Merangin juga telah mengukuhkan Kawasan Bukit Tapanggang seluas 690 Hektar sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin lewat SK Bupati Nomor.287 Tahun 2003 dan SK Bupati Merangin No.36 Tahun 2006 tentang Pengukuhan Hutan Adat Imbo Pusako seluas 252,5 Hektar dan Imbo Parabokalo seluas 275,5 Hektar di desa Batang Kibul Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin seluas. Kawasankawasan tersebut dikelola dengan kaidah hukum adat, yang telah dituangkan kedalam piagam kesepakatan.

Untuk mencapai pengakuan memang bukan sesuatu yang mudah, butuh waktu yang panjang (rata-rata sekitar 3 tahun) untuk membangun kepercayaan dan komitmen para pihak. Baik dilevel kampung maupun para pengambil kebijakan. Pengukuhan kawasan kelola rakyat merupakan capaian awal, bukan capian akhir. Karena persoalan dan tekanan lain telah menunggu. Beberapa tantangan kedepan paska pengukuhan kawasan hutan adat sebagai kawasan kelola rakyat adalah: masih belum tanggapnya Pemerintah Daerah didalam merespon arus perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakat serta tidak adanya perhatian yang serirus dari penentu kebijakan untuk memahami, menemukan dan mencarikan solusi yang adil terhadap masalah pengelolaan sumber daya hutan.

Inkonsistensi terhadap proses yang sudah dibangun khususnya untuk kawasan-kawasan yang telah dilegalkan, konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya hutan antara sesama masyarakat, illegal logging yang dilakukan warga luar desa didalam kawasan kelola rakyat,karena belum adanya dukungan perangkat kebijakan terhadap inisiatif masyarakat didalam pengelolaan sumberdaya hutan, konflik horizontal akibat dana konpensasi, kebijakan otonomi daerah yang mengobral dengan murah sumberdaya hutan kepada para investor untuk memenuhi peningkatan PAD, lunturnya norma adat didalam pengelolaan sumberdaya hutan, menimbulkan kemiskinan penduduk desa yang ada disekitar kawasan hutan.

Mengingat semakin meluasnya areal HTI di Jambi, menurut Rudy, pemberian izin serupa perlu dihentikan terhadap para pengusaha HTI, pemerintah harus mendorong agar dilakukan pengelolaan hutan lestari. ”Pemerintah perlu mengevaluasi kondisi alam hutan yang diberikan kepada para pengusaha ini. Mengingat hutan alamnya masih kondisinya sangat baik, telah dimanfaatkan kayunya, dijual oleh pemegang ijin areal HTI. Hal ini dinilai justru memberi keuntungan bagi perusahaan, sedangkan untuk pengembangan HTI nya terkesan dari hasil keuntungan menjual kayu hasil hutan alam yang ada didalam izjinnya.

Penghentian pemberian ijin HTI ini dinilai penting dilakukan, mengingat Hutan Jambi dalam kurun waktu lima tahun terakhir menyusut hingga seluas satu juta hektare, Menurut Rudy, berdasarkan hasil penelitian para pemerhati lingkungan tingkat dunia, degradasi lahan khususnya hutan menjadi penyumbang utama pemanasan global dan meningkatnya emisi energi tingkat dunia. dampak dari pemanasan global sudah sangat terasa. Khusus di Provinsi Jambi, selama kurun waktu lima tahun terakhir sepanjang kawasan di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari selalu menjadi langganan banjir tahunan. (Djohan)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun