Mohon tunggu...
Nurir Rohmah
Nurir Rohmah Mohon Tunggu... -

Love travelling and understanding freedom expression worldwide..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ospek/Mos = “Melegalkan Balas Dendam”

4 Agustus 2013   06:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:38 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar satu atau dua minggu yang lalu, saat saya sedang dalam perjalanan menuju Bangkalan dari kota Pamekasan Madura, saya menyaksikan banyak anak-anak sekolah berpenampilan aneh menaiki sepeda mereka. Ada juga yang ikut di angkot yang saya tumpangi. Maka, ingatlah saya bahwa bulan-bulan ini memang saatnya ospek/mos untuk SD, SMP dan SMA.
Gerombolan anak-anak pertama yang saya temui menggunakan baju putih merah (akan naik ke SMP). Anak-anak ini mengayuh sepeda mereka sambil mengernyitkan dahi. Bagaimana tidak, di punggung mereka terdapat sebuah pot plastik berisi tanah dan tanamannya. Pot-pot yang cukup besar ukurannya ini mereka jadikan tas ransel yang sangat aneh menurut saya. Di kepala mereka, sebuah topi setengah bola melingkar menutupi rambut-rambut mereka yang basah. Ini hanya beberapa item yang bisa saya sebutkan. Yang lainnya, saya sampai lupa karena terlalu banyak yang mereka bawa.
Gerombolan anak lain yang saya temui adalah sekelompok anak perempuan yang sepertinya akan naik ke kelas 1 SMA. Anak-anak kampung nan lugu ini tidak kalah anehnya dari gerombolan pertama. Anak-anak gadis ini kebetulan menaiki angkot yang sama dengan saya. Rambut mereka dikepang dengan ikat rambut warna warni menjulang ke atas. Entah berapa banyaknya. Sepertinya, mereka diminta melakukan hal tersebut oleh kakak kelas atau panitia ospek mereka. Miris sekali.
Anak-anak gadis ini tidak hanya mendandani rambut mereka dengan banyak pita warna warni, tapi juga membawa sejumlah peralatan yang sama-sama anehnya. Ada tas yang tampak dibuat dari sak bekas tepung. Topi berbentuk caping petani juga. Wajah mereka menampakkan ketidaksukaan mereka pada hal-hal tersebut. Tapi, apalah artinya itu semua bagi mereka? Di benak anak-anak lugu ini, yang terpikir hanya “bagaimana caranya agar tidak dihukum dan dipermalukan saat ospek?”
Melihat anak-anak ini, saya kemudian mengingat-ngingat kembali nostalgia masa lampau saat saya masih SMP, SMA, sampai ke perguruan tinggi. Saya juga diperlakukan sama seperti mereka. Tetapi, itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Aneh rasanya kalau hal-hal tak logis macam itu masih ada sekarang.
Dulu, saat saya SMP, senior-senior saya meminta saya dan teman-teman melakukan hal-hal yang tidak mendidik seperti menyatakan cinta pada teman sekelas, membawakan tas senior, sampai diminta bernyanyi ke tiap-tiap kelas. Peralatan yang dibawa waktu itu juga hampir sama dengan anak-anak tadi. Tidak jauh berbeda. Orang tua saya sampai protes karena tidak sedikit uang yang kami habiskan untuk membeli perlengakapan tersebut.
Lain lagi saat SMA. Saat itu saya diterima disebuah SMA ternama di kota saya. Tapi masuk SMA favorit tidak lantas lepas dari yang namanya Ospek yang menyiksa. Saya ingat betul kalau saya sampai sakit 2 hari gara-gara aktifitas Ospek yang sangat padat. Bagaimana tidak sakit, berangkat pagi, pulang malam hari. Buat saya, ini menyiksa. Belum lagi perlengkapan aneh-aneh yang terkadang tidak ditemui di toko, yang harus dibuat sendiri. Bukan main susahnya waktu itu. Dan ternyata, sekarang masih saja ada.
Lulus SMA, saya kemudian meneruskan ke perguruan tinggi negeri di Madura. Walaupun akan berstatus sebagai mahasiswa, jangan harap bisa santai-santai. Ospeknya ternyata lebih sulit lagi. Saya ingat betul ketika itu, saya menghabiskan uang 1,5 juta rupiah untuk membeli perlengkapan Ospek yang sebenarnya tidak wajar. Tapi, apa boleh buat, untuk anak kampung seperti saya, tidak ada pilihan lain selain PATUH pada perintah. Menurut saya, Ospek di perguruan tinggi itu yang paling tidak bisa saya pahami alasannya.
Misalnya saja. Kami diminta membawa telur mata sapi melirik ke kanan. Atau membuat ikat pinggang dari permen dengan merek yang berbeda. Ada juga perintah untuk membawa buah-buahan lengkap dari buah yang paling kecil, hingga yang besar. Lalu, kami juga disuruh memakai baju yang setiap hari berbeda dan diumumkan saat sore harinya. Ada lagi yang lebih aneh, meminta tanda tangan semua panitia yang jumlahnya lebih dari 200 orang itu.
Ini belum berhenti disini. Biasanya Ospek itu bertahap. Jadi dari tingkat universitas, kemudian Ospek tingkat fakultas, dan kemudian Ospek tingkat jurusan. dan semua tingkatan-tingkatan ini semakin menunjukkan betapa tidak inteleknya tingkah laku seorang mahasiswa yang dituangkan dalam sebuah “balas dendam terencana” seperti Ospek ini.
Mengapa balas dendam? Opini tidak serta merta saya katakan tanpa bukti. Ini berdasarkan pengamatan dan observasi yang saya lakukan. Bayangkan saja, ditahun kedua saya kuliah, saya bertanya pada teman-teman saya yang saat itu bertindak sebagai Komisi Disiplin (KOMDIS). Komdis biasanya adalah orang-orang yang sangat populer dan ditakuti karena merekalah yang menyampaikan tugas-tugas “perploncoan” kepada mahasiswa baru. Teman-teman saya beralasan bahwa dengan menjadi KOMDIS, artinya mereka sedikit banyak dapat melampiaskan perasaan sakit hati mereka dulu saat mereka di Ospek juga.
Inilah sebenarnya dampak psikologis yang haru diterima oleh anak-anak yang merasakan sakitnya Ospek. Padahal diluar negeri, Ospek bukan ajang “balas dendam”, melainkan ajang perkenalan terhadap kampus dan organisasi-organisasi didalamnya. Bukan malah disiksa dan dijejali dengan perintah-perintah yang tidak masuk akal. Bahkan pernah juga beberapa kampus menggelar ospeknya di daerah pegunungan. Entah apa yang dicari. Padahal ospek yang seperti ini menghabiskan biaya yang banyak.
Lalu, dengan menulis ini, apakah saya tau solusinya? Belum tentu.
Tapi yang jelas, “platform” pendidikan apapun dimulai dari SD SMP SMA dan Perguruan Tinggi itu harusnya berbagi ilmu, bukan berbagi pelampiasan atau bahkan menjadi tempat balas dendam. Kita memang tidak dapat mengatur pribadi tiap orang, tapi kita dapat memberikan pengarahan yang terukur.
Saat saya mengobrol dengan teman saya dari luar negeri, dia bercerita bagaimana seorang anak baru diperlakukan di sekolah atau perguruan tinggi. Biasanya mereka diajak berkeliling sekolah atau kampus mereka dan diperkenalkan dengan segala fasilitas disana. Lalu, mereka akan mengikuti beberapa workshop yang diberikan langsung oleh organisasi-organisasi atau komunitas-komunitas disekolah atau dikampus mereka. Mereka juga akan diikutkan dalam program sukarelawan selama beberapa hari untuk lebih mengenalkan lingkungan tempat mereka belajar. Tak jarang pula, mereka ikut kegiatan menanam di sekolah atau kampus mereka. Kegiatan lain yang juga biasanya dilakukan menurut teman saya adalah, mengurus semua keperluan sekolah atau kampus seperti perizinan asrama, pembuatan kartu pelajar, dan banyak lainnya. Sehingga saat pelajaran dimulai, semua sudah beres. Beda dengan kampus-kampus atau sekolah di Indonesia, yang penting Ospeknya dulu. Yang lainnya belakangan.
Kalau saja Ospek dipahami lebih bijak lagi, anak-anak tidak akan takut lagi dengan yang namanya Ospek. Kita akan mencetak paradigm-paradigma yang positif bagi anak-anak muda kita. Jangan sampai kita mencekoki generasi penerus dengan jiwa jiwa preman.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun