Menyebutkan kata buruh, tentunya pikiran kita akan tertuju pada sosok badan kekar, lusuh, tidak terurus, miskin, bahkan tidak berpendidikan. Atau mungkin lebih kongkretnya mengacu pada tukang angkat barang di pelabuhan, pekerja – pekerja kasar di pabrik, para pekerja di gudang, dan sebagainya. Buruh adalah potret hina bagi orang – orang awam di Indonesia.
Banyak orang yang sedikit mengerutkan dahinya ketika saya menyebutkan “Kita semua adalah buruh, apapun itu.” Ya mereka yang mendengarnya seakan takut dikategorikan dalam kasta terendah dalam struktur sosial, mereka seakan diremehkan dalam konteks bermasyarakat ketika dikatakan buruh.Dekonstruksi perlu dilakukan agar kita sadar siapa kita sebenarnya.
Istilah buruh mungkin tak bisa lepas dari seorang Karl Marx, beliau memandang Buruh atau proletar sebagai faktor produksi yang bekerja bagi pemilik modal atau borjuis. Istilah tersebut mungkin sedikit materialis, ya wajarlah Seorang Marx memang berangkat dari filsafat yang beranggapan bahwa zatlah yang menjadi sifat dan kenyataan terakhir.
Siapakah “Buruh” itu ?
Bagi saya buruh secara luas dapat dimulai dari pikiran kita. Pikiran kita yang teralienasi, pikiran kita yang sangat fetish terhadap “tuan – tuan” kebendaan. Saya kemudian menerjemahkan “borjuis” itu sebagai suatu konsep materi yang kita idamkan, sehingga diri kita menjadi “buruh” demi mengejartuan “Borjuis” materi dan menyebabkan diri kita teralienasi (terasing) dari kehidupan diri sendiri & lingkungan kita. “buruh” itu adalah ambisi yang berkobar – kobar dalam diri. Dengannya kita lupa akan hakikat kita sebagai manusia. Cita – cita seorang Marx yang menghancurkan kelas – kelas sosial dalam masyarakat haruslah dimulai dari meredam gagasan materialisme di kepala.
“Buruh” bisa jadi seorang CEO yang jarang pulang ke rumah dan tersibukkan akan urusan kantornya, bisa juga seorang ibu rumah tangga cantik yang hobi ke salon sampai lupa kewajibannya sebagai istri dan ibu bagi anaknya, mahasiswa burenk yang terlalu takut IPnya rendah seraya tunduk pada birokrasi, wakil rakyat yang tunduk pada kekayaan sehingga korupsi atau bahkan pembunuh massal yang berambisi menjadi presiden. Buruh itu ada di dalam diri saya, anda, kita, dan mereka.
Manusia.. manusia.. dan manusia, itulah impian seorang Marx, manusia yang bebas, bebas dari kungkungan ekonomi, manusia yang dapat menghubungkan dirinya secara utuh dengan sesamanya dan alam. Disebutkan diperlukan sebuah kesadaran untuk mencapai revolusi yang disebut kesadaran. Kesadaran akan roda hidup bukan seputar uang, kerja, & kekayaan. Ada hal – hal yang tidak bisa dibeli dengan hal tersebut yang disebut kebahagiaan Bayangkan saja pelatihan untuk menemukan kebahagiaan dengan biaya berjuta – juta ada di negeri kita. Manusia mungkin mulai mersakan krisis kebahagiaan disebabkan dahaga spiritual.
Merenungkan Perayaan Hari “Buruh”
Sejarah menuliskan, pada tanggal 4 Mei 1886 di Chicago lahirlah sebuah kerusuhan oleh para buruh yang berdemonstrasi di Haymarket. Selanjutnya yang kemudian di sahkan menjadi satu mei di Kongres Internasional di Paris pada 1889. Dan kemudian pada selanjutnya hari buruh menjadi rutinitas para pekerja kasar untuk melakukan aksi entah itu demonstrasi bahkan disertai bentrokan dengan polisi untuk menambah gaji. Ah … selalu saja masalah perut. Kita seakan lupa ada “makna” tersirat dari hari buruh. Ada cita – cita di balik perayaan May Day tiap tahun. Ada selalu harapan besar selain dari upah minimum tiap periode.
Mungkin hanya sebagian yang sadar bahwa secara esensial Hari Buruh adalah untuk kita semua agar merehatkan sejenak aktivitas – aktivitas “buruh” , menghentikan segala nafsu “buruh” kita, mendekatkan diri pada diri sendiri, alam, & orang – orang yang kita cintai. Selain dari itu makna kita harus “turun ke jalan” yang selalu digaungkan di mimbar Hari buruh, saya lebih menerjemahkannya agar kita senantiasa mengingat apapun yang disekitar kita baik yang hidup mapun yang benda mati, senantiasa sadar akan keadaan diri. Pesta May Day adalah pesta manusia terlahir merdeka, merdeka dari kehambaan akan rupiah – rupiah yang dikejar setiap hari dan diterima tiap bulan berakhir, serta merayakan bahwa kita bukan mesin yang diperbudak oleh tirani “nafsu” materi yang tidak berujung.
Masyarakat Utopia yang diinginkan oleh Karl Marx adalah masyarakat komunis tanpa kelas, dimana setiap individu di dalamnya tidak terjebak dalam tekanan ekonomi, penuh tenggang rasa, sama rata, damai, adil, cinta kasih, dan lain – lain. Dalam literasi biasa disebut Masyarakat Madani sangat berbeda dengan hari ini, ketika dibalik kaca mobil – mobil mewah di jalan berselonjor tangan – tangan pengemis yang belum makan, ketika kita sedang sibuk nge-tweet atau nge-path dengan teman – teman jauhada teman terlupakan di dekat kita, ketika kita asik bekerja ada teman kita diPHK, dan banyak hal contoh lainnya.
Sudahlah, mungkin semua hal itu terlalu utopis, seperti seorang Marx yang ramalan – ramalannya masih belum valid hingga hari ini. Yang jelas dengan ditanggal merahkannya Hari Buruh ini, mungkin ada baiknya kita berpikir seperti seorang Bejo dalam film The Raid 2. “Ini semua soal ambisi, bukan.. ini soal batasan.” Quotes tersebut dalam tafsiran saya kita harus mengingat batasan khususnya dalam setiap materil yang kita kejar entahkah itu uang, jabatan, wanita, kekayaan, aset, dan lain - lain. Materi bukanlah tujuan tapi alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Semoga perjuangan hari buruh bukan cuma masalah kenaikan UMR/UMP, namun juga kesediaan diri kita untuk meredam para “borjuis” di dalam hati dan pikiran kita agar kita tidak menjadi “buruh” yang teralienasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H