Mohon tunggu...
Dhihram Tenrisau
Dhihram Tenrisau Mohon Tunggu... profesional -

Dokter Gigi muda, Unprofessional musician

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Makassar, Rumah Untuk Musisi Lokal

8 Maret 2014   09:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:09 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Musik dan Nasionalisme di Indonesia merupakan suatu kesatuan yang tak pernah lepas. Hal tersebut terbukti dari dicanangkannya tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional. Penepatan hari tersebut juga bagian dari JAS MERAH (Jangan sekali kali melupakan sejarah) seabad yang lalu kelahiran seorang WR Supratman, sang maestro, pencipta Indonesia Raya.

Para pelaku musik nasional haruslah berbangga diri. Musik menjadi kodefikasi alunan gerak kesatuan berbingkai Bhineka Tunggal Ika. Beragam – ragam gagasan musik dari seluruh kepulauan di Indonesia tumpah ruah dan kemudian diharapkan menjadi perwujudan masyarakat madani. Gagasan itu pernah dipaparkan Njoto saat mendirikan LEKRA.

Ranah permusikan nasional hari ini sudah dipenuhi dengan berbagai skena musik yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Setelah tumbangnya Orde Baru bertiuplah angin segar kebebasan ekspresi khususnya dalam hal ini adalah bermusik.Hadirnya skena tersebut kemudian menjadi semangat subculture. Musik kemudian berkorelasi dengan seni taupun gagasan lainnya misalnya : film, seni rupa, budayawan, aktivis, komunitas, dsb. Pada beberapa tempat di Indonesia semangat tersebut kemudian bersatu menjadi semangat zaman bahkan sudah menjadi Industri kreatif yang ada di daerah tersebut. Sebut saja Supermanis Dead, Sheila on Seven, Endank Soekamti, Burger Kill,Seringai, dsb.

Musisi Lokal Makassar & Dilemanya

Secara sejarah mungkin saya bukan orang yang tepat untuk menjelaskan pastinya lahirnya semangat musik lokal namun dalam buku Pakkuru Sumange’ dijelaskan bahwa Hoo Eng Djie pada tahun 1930-an, kemudian dilanjutkan selama awal 1960-an oleh Djajadi bersama kelompoknya yang merintis nama Makassar dalam dunia musik dalam skala nasional.Hadirnya Libels Record & Irama Baru Recordyang Berjaya di Sulawesi Selatan pada pertengahan 1980-an menjadi bukti bahwa musik lokal Makassar bisa menjadi industri khususnya yang bermukim di daerah Sulawesi Selatan. Lanjutnya Anwar Jimpe Rachman dalam buku “Chambers Makassar Urban Culture Identitiy” menggambarkan kelompok musik generasi akhir 90-an dan 2000-an sudah memulai berani merilis rekaman lagu karya mereka namun peredarannya masih terbatas dalam lingkungan pergaulan mereka.

Warisan budaya orde baru dalam hal ini spirit ke-“jawaan” dan ke-“sumateraan” ternyata juga ber-impact pada dunia musik nasional. Musisi yang berasal dari timur Indonesia masih dipandang sebelah mata. Musisi Makassar yang ingin berkarir secara nasional haruslah menanggalkan status ke-“makassarannya” agar bisa eksis di ibukota. Ibukota juga menjadi pelarian para musisi yang ingin terjun ke industri musik. Berbeda dengan teman – teman yang ada di Bandung, Bali, Surabaya, Yogyakarta, dll. Yang sudah memiliki skena musik yang masif. Skena musik yang telah menjadi industri lokal dengan pemasaran nasional. di distro – distro dan toko penjualan CD yang ada di Makassar dapat dengan mudah kita memperoleh CD dan merchandise band – band lokal dari Jawa & Sumatera namun untuk band lokal Makassar masih jarang didapatkan padahal sudah banyak pemusik lokal Makassar yang sudah memliki karya. Anak – anak band Makassar masih banyak yang belum berani memperkenalkan karya mereka dalam bentuk fisik, padahal salah satu indikator terukur dari apresiasi adalah penilaian publik dalam membeli karya yang orisinil. Pertumbuhan band – band dan musisi lokal sebenarnya harus diimbangi dengan hadirnya bentuk fisik karya mereka.

Elegi musisi dan band lokal juga dirasakan saat mereka menjadi opening act sebuah band nasional ataupun bintang tamu di acara – acara pensi. Musisi & band lokal seakan menjadi pemenuh rundown acara, tidak diperhatikan bahkan kurang diapresiasi kehadirannya sekalipun kualitas mereka mumpuni. Mungkin untuk apresiasi cuma dapat dirasakan oleh teman – teman yang berada di ruang lingkup musik underground dan reggae yang memiliki penikmat yang “militan”.

Menciptakan Rumah bagi Musisi Lokal

Budaya sebenarnya merupakan sebuah aset dari sebuah daerah. Musik merupakan bagian dari budaya kontemporer kemudian hadir menghiasi kota Makassar tercinta. Gagasan – gagasan zaman yang termaktub dalam bentuk nada & lirik musisi lokal sebenarnya menjadi aset yang terpendam. Kita bisa melihat betapa Bandung, Yogyakarta, & Jakarta, betapa hadirnya musisi & band lokal dapat mendorong terciptanya industri kreatif di daerahnya. Perusahaan clothing dapat hidup berkat merchandise dari musisi lokal, tempat percetakan dan desain dapat hidup dari kebutuhan musisi & band lokal, tempat rekaman dapat laku, film – film independent dapat soundtrack atau scoring dari musisi lokal, EO dapat subur dari event – event yang menampilkan headline musisi atau band lokal, dapat menjadikan Makassar sebagai tujuan wisata para penikmat musik nasional, bahkan musisi lokal dapat menjadi agent of change dalam menyuarakan pesan – pesan positif ke masyarakat. Utopia – utopia tersebut sebenarnya harus dilihat oleh pemerintah mengingat Makassar merupakan pintu gerbang Indonesia Timur dengan visi kota dunia. Kehadiran pemerintah sebenarnya dapat memacu terciptanya industri kreatif (musik salah satu di dalamnya) lokal bercita rasa nasional. Peran musisi lokal jangan cuma dijadikan kendaraan pemenuhan “syahwat politik” para caleg atau sejenisnya.

Hadirnya pagelaran – pagelaran yang digagas seperti Rock in Celebes oleh Chambers, Menunjuk Timur oleh Taman Indie, Raw is Rawa – rawa, Makassar Bersatu, dll sebenarnya “membuka" sarana edukasi untuk pelaku musik & masyarakat awam, bahwa di Makassar ada tonji band yang bagus dan berbeda. Sekalipun mereka tidak menonton setidaknya ada gempuran di media sosial serta mainstream sebagai sarana informasi sekunder.

Terlebih dari itu para musisi lokal hari ini sebaiknya mengedepankan kualitas, banyak band & musisi lokal yang berpotensi sayang kualitas dan kemasannya kurang bagus, sehingga kurang bagus dijual.Kita boleh mengusung semangat DIY (Do it by Yourself) tapi tentunya dengan kemasan, kualitas, dan strategi yang menarik. Kehadiran komunitas – komunitas juga bisa menjadi basis pergerakan sebuah musisi dan band. Saya yakin semua acara pasti butuh musik sebagai pemanisnya. Ketika komunitas – komunitas di Makassar saling kompak dan bahu membahu tentunya akan memacu skena kreatif yang kemudian berkembang menjadi industri.

Layaknya sebuah rumah yang membuat penghuninya nyaman dan senang, seperti itulah dambaan saya, Rumah yang baik tentunya dapat mengayomi seluruh penghuninya termasuk diantaranya yang memilih jalur musik dalam mendefiniskan kecintaan mereka akan rumah yang mereka huni. Mungkin sudah banyak para “penghuninya” yang berpikiran seperti saya bahkan sudah ada yang terjun dan menerjemahkan semangat di atas. Tulisan diatas mungkin sebuah model otokritik pada diri saya dan kecintaan saya akan kota Makassar. Refleksi Hari Musik Nasional sebaiknya menjadi momentum agar skena musik lokal lebih baik kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun