Putusan Mahkamah Konstitusi No. 62/PUU-XI/2013 dilatarbelakangi permohonan warga negara kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji agar pengelolaan BUMN dibatasi dari pengelolaan keuangan yang bersifat kepentingan umum dan berimplikasi pada gugatan pidana sebagai kerugian dari Keuangan Negara. Bentuknya berupa pembebasan diri dari pemeriksaan BPK RI, dan tuntutan tindak pidana korupsi. Dasar pemikirannya adalah, segala bentuk badan usaha tidak terbebas dari resiko kerugian. Atas pemeriksaan BUMN/BUMD yang berbeda dengan Keuangan Negara dengan subjek utama APBN dan APBD, BPK RI harus memiliki standar dan kode etik tersendiri. Standar dan kode etik tersendiri atas pemeriksaan pengelolaan Korporasi atau Perusahaan Terbatas mengacu kepada hukum perdata yang dibentuk berdasar konsesus masyarakat dengan kepentingan khusus (contoh : Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan/PSAK dari Ikatan Akuntan Indonesia/IAI).
Intinya adalah pengelola korporasi memiliki tanggung jawab terhadap pemegang kontrolnya. Dalam hal BUMN, pemegang kontrol adalah Negara. Jajaran direksi BUMN bertanggung jawab kepada Negara. Sehingga, pada prinsipnya Keputusan Mahkamah Konsitusi No. 62/PUU XI/2013 sejalan dengan pemikiran yang adil dan berlaku umum, bahwa (Direksi) BUMN bertanggung jawab pada peraturan perundangan yang berlaku umum dan oleh karena itu pelanggaran oleh pengelola/ direksi terhadap korporasi bermuara kepada tuntutan pidana.
Penolakan perubahan atas Pasal 2 Huruf g dan I Undang-Undang no. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta Pasal 9 ayat 1 huruf b dan pasal 10 ayat 1 dan 3 huruf b, dan pasal 11 huruf a UU BPK yang diuji dengan vide pasal 28(d) ayat 1 UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas jaminan perlindungan pengakuan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti Keputusan Mahkamah Konsitusi No. 62/PUU XI/2013 adalah sesuai dengan proyeksi atas stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan Indonesia.
Meski begitu terdapat fakta-fakta tak terelakkan dan diperoleh dari berjalannya pemahaman tersebut, yaitu antara lain :
a.Keuangan BUMN adalah Keuangan Negara.
b.Perlu digarisbawahi bahwa Korupsi adalah perbuatan melawan hukum yang menekankan pada kesengajaan subyek hukum. Saran yang dapat diberikan kepada pengelola BUMN/BUMD adalah mengenai kesederhanaan pada kepatuhan melaksanakan peraturan. Dapat disoroti juga mengenai perbedaan definisi Keuangan Negara pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 20 tahun 2001 mengenai Tindak Pidana Korupsi.
c.Kebiasaan belakangan BPK yang mengedepankan Audit Kinerja dan Audit dengan Tujuan tertentu pada BUMN/BUMD, dan cenderung melepaskan satu bentuk audit BPK lainnya yaitu Audit Keuangan kepada Kantor Akuntan Publik.
d.Tambahan informasi yang cukup penting yaitu bahwa sistem pengadaan barang dan jasa Satker pada K/L dan SKPD pada Pemerintah Daerah yang diatur Pemerintah pada Perpres 70 tahun 2012 dan telah menggunakan e-catalog adalah lebih unggul dibandingkan dengan sistem pengadaan barang dan jasa BUMN/BUMD
e.Pihak Pengadilan Tinggi sering mengeluhkan mengenai Jaksa yang sering memberikan laporan hasil pemeriksaan yang mengandalkan instansi-instansi yang berbeda antara lain Itjen K/L/Inspektorat, BPKP dan juga BPK dengan jumlah Kerugian Negara yang juga berbeda-beda atas kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Adanya terobosan mutlak diperlukan atas peraturan BUMD, yang meskipun dapat memperhatikan UU no. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang substansinya sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, berindukkan UU No. 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah.
BUMD tidak memiliki payung hukum yang lebih khusus dan kuat akan layaknya BUMN, maupun single purpose corporation yang bertujuan mendapatkan profit akan layaknya Perseroan Terbatas seperti yang dimaksud pada UU no. 40 tahun 2007 mengenai.Perseroan Terbatas.
Fakta lain yang mendukung perlunya terobosan mengenai pengaturan BUMD, adalah total asset BUMD yang didominasi (lebih dari 90%) oleh Bank Pembangunan Daerah, menyisakan BUMD-BUMD kecil setara Usaha Kecil Menengah (UKM) yang minim dalam kemampuan membayar pajak sehingga dikategorikan sebagai Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP), sehingga memiliki standar pelaporan keuangan dan juga standar pemeriksaan keuangan tersendiri sendiri, tidak sama dengan BUMN yang relatif besar.
Bahwa Keuangan BUMN adalah Keuangan Negara telah tidak terbantahkan. Meski begitu terdapat celah hukum yang mempertanyakan apakah Keuangan BUMD sama dengan Keuangan BUMN? dan apakah Kerugian BUMD adalah Keuangan Negara? pertanyaan yang kemudian menghadirkan suatu benchmark mengenai keuntungan yang ditentukan oleh pemegang kontrol, yang pada sisi sebaliknya, kerugian pun harusnya juga ditentukan oleh pemegang kontrol, dimana, tidak seperti PT pada umumnya, selain bertujuan menghasilkan keuntungan (profit), BUMD juga bertujuan untuk memberikan barang dan jasa bermutu kepada masyarakat dan memberikan manfaat umum bagi perekonomian daerah, yang menyebabkan makna kerugian pada keuangan BUMD menjadi rancu.
Kerugian Negara menurut UU no. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah kekurangan uang yang nyata dan pasti jumlahnya. Dari pengertian ini, dapat diketahui bahwa terdapat dasar yang diacu mengenai makna “kekurangan”, dari yang seharusnya, yaitu yang terdapat dalam APBN/APBD (das sein), dan yang terjadi (das sollen), yaitu yang tergambar dalam Laporan Keuangan APBN/APBD yang diaudit melalui Audit Keuangan BPK pada entitas non profit terhadap Kerugian Negara.
Kemunculan Kerugian Negara pada BUMN melalui pemeriksaan BPK dipertanyakan pada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Harjono atas Keputusan Mahkamah Konsitusi No. 62/PUU XI/2013 dimaksud, yang menyarankan agar norma pemeriksaan BUMN tidak didasarkan pada norma pemeriksaan Keuangan Negara melainkan norma pemeriksaan Perseroan Terbatas, dimana jika mengikuti norma pemeriksaan keuangan negara, tidak ada dasar “kekurangan” dalam kerugian negara pada BUMD karena bukan merupakan penganggaran public yang diundangkan dalam UU maupun Perda.
Meski tidak secara eksplisit, Pasal 6 ayat 4 UU no. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan pun menyiratkan bahwa pemeriksaan atas pengelolaan korporasi dapat dilakukan oleh pihak lain selain BPK (Akuntan Publik).
Oleh karena itu terdapat celah hukum untuk menekankan mengenai kerugian daerah yang dapat ditentukan oleh pihak lain selain BPK.
Sesuai dengan pasal 33 ayat 4 UUD 1945 bahwa perekonomian diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, dan memperhatikan UU no. tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, pada akhirnya, pengelolaan pertanggunjawaban keuangan dan pengembangan BUMD hendaknya berada dibawah koordinasi Pemerintah ( misal : Menteri Dalam Negeri atau BPKP) yang mengacu kepada UU mengenai Perseroan terbatas yang berbasis pada hukum bisnis (perdata).
Febrian Arham, Jakarta, Januari 2015
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI